Tuesday, June 11, 2019

PENTINGNYA NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN KATOLIK




DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 3
2.1 Arti Perkawinan............................................................................................................ 3
      2.1.1 Hakikat Perkawinan Kristiani.............................................................................. 3
      2.1.2 Tujuan Perkawinan Kristiani............................................................................... 4
        2.1.3 Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani............................................................... 5
2.2 Perkawinan sebagai sakramen...................................................................................... 6
      2.2.1 Pengertian Umum................................................................................................ 6
      2.2.2 Perkawinan sebagai salah satu dari tujuh sakramen............................................ 6
      2.2.3 Identifikasi antara perjanjian nikah dan sakramen.............................................. 7
      2.2.4 Perkawinan in feri dan perkawinan in facto esse................................................. 8
2.3 Pengertian Kesetiaan.................................................................................................... 9
2.4 Landasan Biblis Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri...................................... 10
      2.4.1 Kesetiaan Yahwe Kepada Bangsa Israel............................................................ 10
      2.4.2 Kesetiaan Kristus Kepada Gereja-Nya............................................................... 11
2.5 Masalah-masalah dalam Hidup Berkeluarga............................................................... 11
      2.5.1 Perselingkuhan.................................................................................................... 11
      2.5.2 Perceraian........................................................................................................... 12
2.6 Model Keluarga Kristiani............................................................................................ 13
      2.6.1 Keluarga sebagai Komunitas Cinta Kasih.......................................................... 13
      2.6.2 Keluarga sebagai Komunitas Hidup................................................................... 14

BAB III PENUTUP........................................................................................................ 15
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 15
3.2 Saran............................................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 16
BAHAN KATEKESE.................................................................................................... 18





KATA PENGANTAR
            Dewasa ini pemahaman banyak orang mengenai makna nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga keliru. Hal ini disebabkan antara lain karena kurangnya pendidikan yang integral dan sehat di bidang seksualitas dan perkawinan dari generasi ke generasi. Penyebab utamanya ialah Praktik kawin-cerai-kawin lagi di kalangan para selebriti sering menjadi tontonan umum bahkan pembicaraan dan gosip yang hangat dan menarik di kalangan orang muda dan juga orangtua. Bagi anak-anak dan remaja semuanya, itu menjadi contoh dan kesaksian yang sebenarnya tidak sehat dan tidak mendidik sehingga mengacaukan dan merancukan dalam diri sendiri suatu gambaran mengenai perkawinan yang benar dan sejati. Paham dan nilai fundamental yang digerogoti itu terutama yang berasal dari hukum kodrat, yakni nilai kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan, nilai monogam dan tak-terputuskannya perkawinan, serta nilai kesetiaan. Sekarang ini banyak orang yang kurang memahami, menghargai, bahkan semakin mempertanyakan tidak hanya sifat-sifat khas dan tujuan-tujuan hakiki perkawinan.
            Dalam penulisan makalah ini, banyak pihak yang telah membantu penulis. Karena itu, pantaslah penulis berterima kasih kepada mereka semua.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Tuhan yang Maha Esa atas Anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu
2.      Ibu Ona Sastri Lumban Tobing, S.Ag.,M.Th, sebagai dosen pengampu mata kuliah Administratif Paroki
3.      Staff Perpustakaan yang memberi pinjaman buku
4.      Teman-teman semuanya serta orangtua yang memberi semangat dan dukungan untuk menyelesaikan tugas makalah ini.
No Body Perfect. Tiada satu pun manusia yang sempurna. Penulis mengakui bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, penulis sangat terbuka menerima kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan tugas makalah ini. Semoga tugas makalah ini dapat berguna bagi para pembaca terutama bagi mereka yang tetap teguh menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinannya.










  
 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkawinan adalah sebuah perjanjian timbal-balik antara seorang pria dan wanita. Perjanjian ini sangat unik dan khas bila ditinjau dari sudut subjek dan objeknya. Pertama-tama perjanjian ini digerakkan oleh cinta. Karena cinta dan demi cinta Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Namun, kehendak dan karya Allah tidak selesai di situ. Ia sekaligus memanggil mereka untuk saling mencintai.[1]
            Sepasang suami-istri melibatkan gereja di dalam proses perkawinan. Gereja merasa ikut campur dalam mengambil bagian atas kewajibannya untuk membantu kedua mempelai menjalani kehidupan berkeluarga. Sejak awal pembentukan sebuah keluarga, pihak gereja sudah membantu calon-calon keluarga baru untuk menghadapi tantangan dalam hidup berumah tangga. Sepasang suami-istri bertugas untuk membantu tugas bangsa dan gereja dalam hal pendidikan mengenai kehidupan anak. Pendidikan dalam keluarga ini adalah sangat penting. Awal dari sosialisasi Ilmu pengetahuan dan pengalaman dimulai dari keluarga. Maka tidak jarang kita mendengar bahwa keluarga adalah juga “sekolah kecil”. Di dalam keluarga inilah etika, sopan santun, tata krama dan cinta kasih mulai diajarkan.
            Di zaman modern ini, perubahan dalam membentuk sebuah keluarga baru sangatlah sulit karena menghantar orang pada sikap lebih mudah untuk memutuskan bercerai. Fakta perceraian di masyarakat kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Beberapa anggapan bahwa hidup dalam perkawinan terlalu sukar untuk dipertahankan dan perceraian menjadi semacam solusi alternative apabila masa sukar dalam hidup perkawinan itu muncul. Situasi ini merupakan masalah nilai kesetiaan dalam sepasang suami-istri sangatlah krisis yang menyebabkan kesejahteraan keluarga menjadi merosot. Kesetiaan adalah suatu keputusan untuk tetap pada komitmen atau janji yang telah diucapkan untuk membangun relasi dalam satu hubungan. Kesetiaan menjadi tolok ukur dalam sebuah keutuhan sebuah perkawinan.
            Kemorosotan nilai kesetiaan belum dihayati secara utuh dalam kehidupan berkeluarga. Pentingnya nilai kesetiaan yang perlu sebagai syarat demi kesejahteraan hidup berkeluarga. Kesetiaan itu mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Pembahasan tentang nilai kesetiaan dalam perkawinan kristiani sangatlah penting. Mengingat Pentingnya nilai kesetiaan dalam perkawinan bagi kesejahteraan keluarga katolik, maka penulis memutuskan untuk mengangkat tema ini sebagai tema yang akan dibahas di makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa itu Arti Perkawinan?
2.      Apa itu Perkawinan sebagai sakramen?
3.      Apa Pengertian Kesetiaan?
4.      Bagaimana Landasan Biblis Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri?
5.      Bagaimana Masalah-masalah dalam Hidup Berkeluarga?
6.      Bagaimana Model Keluarga Kristiani?

1.3 Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui Apa itu Arti Perkawinan.
2.      Untuk mengetahui Apa itu Perkawinan sebagai sakramen.
3.      Untuk mengetahui Apa Pengertian Kesetiaan.
4.      Untuk mengetahui Bagaimana Landasan Biblis Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri.
5.      Untuk mengetahui Bagaimana Masalah-masalah dalam Hidup Berkeluarga.
6.      Untuk mengetahui Bagaimana Model Keluarga Kristiani.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arti Perkawinan
2.1.1 Hakikat Perkawinan Kristiani
          Kanon 1055 ini merupakan kanon doctrinal dan mengartikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus, consensus, covenant) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup. Definisi ini mempunyai latar belakang pada dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes art. 48, yang mengartikan perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebagai contractus (sebuah kontrak).[2]
Rumusan dari kanon 1012 KHK 1917 ini memandang perkawinan sebagai suatu institusi yang sangat statis, yaitu sebagai sebuah kontrak: persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan, atau menghindarkan sesuatu. Perkawinan merupakan sebuah kontrak karena memang merupakan suatu persetujuan bilateral antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.[3]

  2.1.2 Tujuan Perkawinan Kristiani
Perkawinan Katolik itu sendiri mempunyai tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan suami-istri serta terarah pada kelahiran dan pendidikan anak, seperti yang dirumuskan dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 1055 paragraf 1, “… yang menurut ciri kodratnya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak”.


·      Kesejahteraan suami-istri
Kesejahteraan suami-isteri adalah salah satu tujuan dari hidup perkawinan, yang dipahami sebagai persekutuan seluruh hidup seorang laki-laki dan seorang perempuan. Namun, tujuan ini hanya bisa terwujud jika pasangan suami-isteri tersebut sungguh-sungguh saling memberi diri secara total dalam kesetiaan satu sama lain.[4] Kesejahteraan suami-istri dapat dipahami secara berbeda oleh setiap orang dengan sudut pandangannya. Ada orang yang berpandangan bahwa suami-istri dikatakan sejahtera bila mempunyai harta yang berlimpah serta rumah yang mewah. Kesejahteraan suami-istri yang dimaksudkan adalah kebersamaan hidup yang dialami dan dirasakan oleh suami-istri disaat:
1.    Mereka dapat saling memberikan diri dan menerima pasangannya dengan penuh kasih dan ketulusan hati, termasuk ketika melakukan hubungan persetubuhan. Melalui pemberian diri dan penerimaan terhadap pasangannya, mereka diharapkan dapat hidup sehati, seperasaan, dan sepikir dalam menekuni hidup berkeluarga.
2.    Mereka dapat saling menyesuaikan dan menyempurnakan pasangannya. Dengan membangun hidup berkeluarga bukan berarti keduanya lalu saling meleburkan dirinya,tetap mereka tetap hidup dengan dirinya masing-masing, yang meliputi kepribadiannya, pola pikirnya, harapannya, dan sebagainya.

·      Kelahiran Anak
Kehidupan berkeluarga hendaknya dijalani dengan penuh sukacita dan kebahagiaan oleh suami-istri, demi terwujudnya hidup berkeluarga yang harmonis. Keharmonisan ini harus diupayakan terus-menerus, termasuk pada saat melakukan hubungan persetubuhan. Hubungan persetubuhan itu sendiri dipahami sebagai relasi timbal balik antara suami-istri sebagai ungkapan cinta yang tulus dan total dari keduanya yang didasarkan pada keterbukaannya terhadap kelahiran anak sebagai buah cintanya.


·      Pendidikan Anak   
Kelahiran anak membawa konsekuensi terhadap pendidikan anak. Orang tua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab, meski tidak mudah, apalagi di zaman sekarang ini. Mereka sebaiknya memikirkan dan mengupayakan pendidikan yang utuh dan menyeluruh, “Orang yang mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, dan kultural, maupun moral dan religius”. Sebagai pendidik pertama dan utama, orang tua harus mendidik sendiri anaknya sehingga mereka sungguh bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.[5]

  2.1.3 Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani
Perkawinan kristiani pada hakikatnnya bersifat unitas, indissolubilitas, dan sacramental. Kan.1056 menyatakan, “Sifat-sifat hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan) yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”.
Banyak orang merasa berat dengan perkawinan Katolik sebab sangat mempertahankan unitas dan indissolubilitas itu. Bagaimana kalau suatu saat pasangan ini tidak bisa bertahan karena konflik, demikian pertanyaan orang. Menurut pendapat saya, orang yang sejak awal sudah memikirkan tentang konflik yang akan terjadi, menunjukkan bahwa yang bersangkutan belum yakin akan cintanya sendiri atau cinta pasangan terhadap dirinya. Bila ini benar, sebaiknya pernikahan ditunda dulu sebab ia sendiri masih ragu-ragu. Bahwa memikirkan konflik di masa depan keluarga adalah sesuatu yang positif, sebab calon pengantin sudah bisa mengambil strategi yang perlu untuk membangun keluarga. Tetapi memikirkan konflik di masa yang akan datang  yang memengaruhi pengambilan keputusan entah menikah atau tidak berdasarkan kebijakan Gereja tentang unitas dan indisolubilitas, menunjukkan bahwa kedua calon ini belum matang dan dewasa terhadap dirinya sendiri. Penyerahan diri secara total masih diragukan. Sebaiknya perkawinan ditunda sampai pada suatu keputusan yang pasti.
              Sebetulnya, prinsip dasarnya adalah orang mau menikah sebab mau hidup bersama sampai maut memisahkan. Tak ada seorang laki-laki dan seorang perempuan membangun hidup berkeluarga hanya untuk sementara waktu. Karena itu, setiap pasangan yang akan menikah semestinya mengoreksi secara benar hatinya sendiri dan belajar mengenal secara mendalam hati pasangan yang dipilih, seberapa mendalam mereka saling mencintai dan sudah siap melangkah menuju perkawinan. Kursus-kursus perkawinan sebelum peneguhan nikah adalah cara yang dipakai Gereja untuk mengecek pemahaman serta kesiapan dari para calon pengantin agar tidak ada halangan bagi keduanya[6].
           
2.2 Perkawinan sebagai sakramen
2.2.1 Pengertian Umum          
Kan. 1055 paragraf 1 diakhiri dengan frasa (antara orang-orang yang dibaptis diangkat oleh Kristus Tuhan ke martabat sakramen). Sebagaimana sudah disinggung, inilah yang sebenarnya merupakan frasa induk dalam teks normatifs kanon tersebut, yakni bahwa perjanjian perkawinan antara dua orang yang dibaptis diangkat oleh Yesus Kristus tidak mengadakan atau menciptakan sesuatu yang belum ada menjadi ada, melainkan mengangkat sesuatu yang sudah ada ke dalam martabat yang baru. Dengan kata lain, perkawinan adalah realita ciptaan atau lembaga natural yang sudah ada sejak dunia dan manusia dijadikan. Hal baru yang dibawa dan dianugerahkan oleh Kristus kepada dunia dan manusia ialah menebus dan mengangkat lembaga natural tersebut ke martabat sakramen. 

2.2.2 Perkawinan sebagai salah satu dari tujuh sakramen
Selain dimengerti sebagai sakramen dalam arti umum, perkawinan antara dua orang yang dibaptis adalah sakramen dalam arti sempit dan teknis, yakni sebagai salah satu dari 7 (tujuh) Sakramen Gereja. Dengan kata lain, sakramen perkawinan adalah cinta-kasih suami-istri kristiani yang dinyatakan dalam kesepakatan nikah timbal-balik dalam sebuah ritus liturgis. Sebagaimana sudah kita ketahui, ajaran Gereja mengenai tujuh sakramen diresmikan pertama kali oleh Konsili Lyon II (1274), kemudian Konsili Florence (1439), lalu ditegaskan kembali oleh Konsili Trente (1563).
Sakramen pertama-tama adalah tindakan Kristus. Melalui tindakan ritual Gereja, Kristus mengaktualisasi karya penyelamatan-Nya berkat Roh Kudus yang hadir dan menghidupi ritus tersebut. Ritus liturgis tidak men-duplikasi atau me-repetisi peristiwa penyelamatan, melainkan menjadikan karya keselamatan Kristus disponibel dan hadir dalam rangka membangun Gereja, dan sekaligus menjadi momen bagi umat beriman kristiani untuk berpartisipasi dalam kemenangan Paskah pada waktu mereka memasuki atau mengawali tahapan-tahapan dan momen-momen penting dalam kehidupan kristiani mereka.
Menurut Bahasa teologis St. Thomas Aquinas, dalam sakramen perkawinan ada tanda yang kelihatan (visible sign, sacramentum tatum), yakni pertukaran kesepakatan nikah. Materia dan tanda ini ialah sepasang laki-laki dan perempuan yang saling memberi dan menerima diri sebagai suami-istri. Forma dari tanda itu ialah manifestasi eksternal dari kesepakatan timbal balik. Selain itu, dalam setiap sakramen ada hal atau peristiwa yang ditandakan atau dikandung dalam tanda itu (res et sacramentum), yakni ikatan suami-istri yang bersifat tetap. Antara dua orang yang dibaptis ikatan ini merupakan tanda kesatuan tak-terputuskan antara Kristus dan Gereja. Selanjutnya, ada efek atau buah supranatural yang dihasilkan (res tantum) oleh sakramen itu, yakni rahmat adikodrati.

2.2.3 Identifikasi antara perjanjian nikah dan sakramen
Kan. 1055 paragraf 2 menetapkan: “Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen”. Kanon ini mengambil secara utuh dan tanpa mengubah sedikit pun ketentuan kan. 1012 paragraf 2 dari KHK 1917.
Ketentuan ini menyambung kalimat terakhir dari paragraph sebelumnya. Hal itu ditunjukkan dengan kata pembuka “karena itu”. Bahkan ada kesan pengulangan, karena disinggung lagi sakramentalis perkawinan antara dua orang dibaptis. Namun, yang khas dari kanon ini ialah pencantuman kata “dengan sendirinya” (eo ipso) yang mengesankan suatu identifikasi otomatis antara perkawinan sah dua orang dibaptis dengan sakramen. Dengan kata lain, ada kesamaan (identity), penyamaan (equalization atau equivalence) dan ke-takterpisah-an (inseparabilitas) antara perjanjian perkawinan dan sakramen. Perlu dicatat juga bahwa yang di-identik-kan dengan sakramen dalam kanon itu ialah perkawinan sebagai kontrak yuridis dan legal (contructus, contract), sehingga dari sini sakramen perkawinan sering disebut sebagai sakramen ikatan (sacrament of bond).

2.2.4 Perkawinan in feri dan perkawinan in facto esse
Kedua istilah ini sebenarnya tidak ada dalam teks, namun banyak digunakan dalam doktrin dan yurisprudensi kanonik. Istilah ini merupakan sebuah abstraksi metodologis yang berasal dari periode skolastik, khususnya St. Thomas Aquino. Meski demikian, konsep yang mendasarinya sangat berguna untuk mengerti realitas perkawinan yang kaya dimensi itu. Kedua istilah itu mau menunjukkan bahwa setiap perkawinan selalu tampil dengan dua aspek atau momen yang berbeda, namun sangat berkaitan dan bahkan tak-terpisahkan satu sama lain. Di dalam setiap perkawinan selalu ada aksi bersama dari pasangan suami-istri yang menciptakan dan memulai perkawinan, dan ada status atau situasi yang timbul dari aksi mereka itu untuk dihayati bersama-sama seumur hidup. Kan 1134 menunjukkan secara implisit dua momen yang tak terpisahkan itu: “Dari perkawinan sah timbul ikatan antara suami-istri, yang dari kodratnya bersifat tetap dan eksklusif.”
Istilah matrimonium in feri diterjemahkan ke dalam Bahasa inggris menjadi marriage in the act of being constituted atau marriage in the making. Istilah itu mau menunjukkan tindakan bersama suami-istri untuk meneguhkan perkawinan melalui kesepakatan yang saling mereka berikan dan terima. Dengan kata lain, perkawinan in feri ialah tindakan kontrak bilateral atau timbal balik serta formal antara dua orang yang menurut hukum mampu, melalui kesepakatan nikah yang dinyatakan secara legitim, dengan mana suami-istri saling memberi diri dan saling menerima melalui perjanjian yang tak dapat ditarik kembali, yang terarah kepada terbentuknya perkawinan. Selanjutnya, istilah matrimonium in facto esse diterjemahkan ke dalam Bahasa inggris menjadi marriage in the act of being lived out atau marriage in fact. Istilah ini mau menunjukkan perkawinan sebagai kebersamaan atau persekutuan hidup suami-istri (consortium totius vitae), atau ikatan perkawinan yang lahir dari perjanjian perkawinan.[7]

2.3 Pengertian Kesetiaan
Kata kesetiaan berasal dari kata dasar setia yang berarti: patuh, taat, tetap dan teguh hati, berpegang teguh.[8] Kesetiaan merupakan nama lain dari sikap manusia yang harus menghadapi kesulitan yang rumit, namun masih bisa mempersoalkan arti, peranan dan maknanya bagi proses pengembangan hidup ini. Kesetiaan memang sebuah nama yang menunjukkan kenyataan yang tidak mudah diamati. Kesetiaan menyangkut pengertian kasih, kerahiman, karunia yang ditawarkan dalam hidup ini dan menuntut pertanggungjawaban yang tetap dan terus menerus. Kesetiaan adalah tanda bukti kasih yang tidak luntur oleh kesulitan hidup.[9]
            Dalam Kitab Suci, Kesetiaan kerap kali untuk menunjukkan sifat Allah dan sifat itu erat sekali hubungannya dengan kerahiman atau kasih karunia yang dinyatakan kepada manusia.[10] Di dalam Perjanjian Lama, Kesetiaan dikenal dengan istilah hen dan hesed. Hen berarti Allah yang terus menerus mengaruniakan kasih-Nya.[11] Sedangkan istilah hesed lebih menunjukkan pada hubungan yang menimbulkan sikap tertentu yaitu sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling menerima.[12]
            Selain itu, kata kesetiaan diterjemahkan dengan istilah kharis, yang terutama dipakai oleh St. Paulus dalam tulisan-tulisannya. Kata kharis memiliki arti yang beraneka ragam. Terutama kharis menunjuk pada kebaikan, keelokan, keindahan, juga kerapkali diartikan sebagai karunia, hadiah kebaikan (Kol 4:6).[13]


2.4 Landasan Biblis Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri
2.4.1 Kesetiaan Yahwe Kepada Bangsa Israel
            Kesetiaan Allah kepada bangsa Israel umat pilihan-Nya selalu menjadi titik tolak refleksi iman tentang kesetiaan suami-istri. Para nabi berulangkali menggambarkan hubungan kasih setia Allah terhadap bangsa Israel dengan menggunakan gambaran hubungan kasih setia suami-istri. Dalam Yehezkiel ditampilkan mengenai Yerusalem sebagai istri yang tidak setia kepada Allah (Yeh 16:1-63). Teks ini merupakan bab terpanjang dalam kitab Yehezkiel. Teks ini juga dipilih karena merefleksikan secara mendalam tentang hubungan Allah dan Israel yang kemudian dapat diaplikasikan kedalam bentuk hubungan antara suami-istri. Allah digambarkan sebagai suami dan Israel (Yerusalem) adalah istri-Nya. Yehezkiel menggambarkan Israel (Yerusalem) sebagai anak yatim yang diterlantarkan oleh orangtua dan sanak saudaranya. Allah menemukan Yerusalem yang terlantar itu dan memeliharanya. Segala keperluan yang dibutuhkannya dipenuhi. Kemudian Allah pergi. Ketika Yerusalem tumbuh menjadi dewasa. Allah kembali lagi dan menikahi kota itu, membanjirinya dengan hadiah dan mengambilnya sebagai istri.[14]
            Walaupun Israel (sang istri) berlaku tidak setia dengan melacurkan dirinya, namun Allah (Suami Israel) tetap setia kepada Israel. Allah mengadakan kembali prrjanjian-Nya dengan Yerusalem (Yeh 16:62-63). Dengan kemurahan yang melimpah, Allah memaafkan Yerusalem.[15] Demikian Allah tetap mencintai Israel dan berlaku setia dengan cinta yang penuh. Gambaran di atas secara eksplisit dapat ditemukan dala Kitab Nabi Hosea, yang mempunyai bukti asli tentang realitas ganda ini dalam keluarganya sendiri (Hos 1:2-9; 3:1-5). Istri Hosea, Gomer meninggalkannya dan melakukan perzinahan. Kemudian, Hosea diperintahkan oleh Yahwe untuk membujuknya dan membawa kembali. Perintah Yahwe dilakukan oleh Hosea. Ia memaafkan Gomer dan membangun kembali ikatan perkawinan yang telah hancur.[16]


2.4.2 Kesetiaan Kristus Kepada Gereja-Nya
            Lambang cinta kasih Allah kepada umat-Nya diteruskan dalam relasi Yesus dengan Gereja-Nya. Yesus sebagai mempelai pria dan Gereja-Nya sebagai mempelai wanita. Relasi kasih setia antara Yesus dengan Gereja-Nya direfleksikan dengan sangat mendalam oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:22-32. Relasi Kristus dengan Gereja-Nya merupakan dasar bagi relasi suami-istri dalam hidup perkawinannya. Selanjutnya, St. Paulus menjelaskan misteri perkawinan itu sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya.
            Relasi kasih setia suami-istri harus selalu mengacu pada gambaran kasih setia Kristus kepada Gereja-Nya. Karena itu ada dua pola yang selalu digunakan St. Paulus untuk menggambarkan pola relasi tersebut. Pola pertama digunakan untuk menunjuk apa yang seharusnya dibuat oleh seorang istri: “Sebagaimana jemaat …, demikian juga istri …”. Pola kedua digunakan untuk menunjuk kepada tugas dan peranan seorang suami: “seperti Kristus …, demikian pula suami …”.[17]
            Relasi perkawinan seperti yang digambarkan diatas sesungguhnya menerangkan kekayaan relasi pria dan wanita dalam perkawinan sebasimbol relasi Kristus dengan Gereja-Nya. Kristus sangat mengasihi Gereja-Nya. Gereja sebagai umat Allah, termasuk didalamnya suami istri sebagai bagian dari umat Allah. Relasi cinta kasih antara suami-istri dilihat sebagai relasi cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya, yang tidak lain adalah suami-istri itu sendiri.[18]

2.5 Masalah-masalah dalam Hidup Berkeluarga
2.5.1 Perselingkuhan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, selingkuh artinya berlaku curang, tidak jujur, dan tidak terang-terangan kepada orang lain[19]. Dalam konteks hidup berkeluarga, selingkuh berarti suami atau istri berlaku tidak jujur dan tidak terang-terangan mengungkapkan pengalaman dirinya kepada pasangannya. Dengan kata lain, suami atau istri sudah mengadakan hubungan gelap dengan perempuan atau laki-laki yang lain tanpa diketahui oleh pasangannya. Ikatan sebagai suami istri secara hukum adalah sah sebab memenuhi syarat-syarat perkawinan dan diakui resmi oleh Gereja dan masyarakat. Namun dalam perjalanan waktu, salah satu atau keduanya mengadakan relasi menetap baru dengan orang lain. Misalnya, istri tidak mengetahui bahwa suaminya sudah berselingkuh dengan wanita lain. Sikap demikian tentu saja menggangu kebersamaan dalam membangun kesejahteraan keluarga.

2.5.2 Perceraian
            Setiap pasangan suami-istri tidak ingin agar hidup perkawinannya berantakan. Yang diinginkan adalah membangun hidup berumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan. Namun dalam kenyataannya yang terjadi saat ini, banyak pasangan suami-istri tidak dapat mewujudkan kebahagiaan itu. Kemudian, memilih jalan lain dengan cara mengakhiri perkawinan mereka, yaitu perceraian. Termasuk di dalamnya ialah keluarga-keluarga katolik. Kenyataanya ini bisa ditemukan di dalam Katekismus Gereja Katolik yang tertulis:
Dalam banyak negara, dewasa ini terdapat banyak orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan perkawinan baru secara sipil.[20]
            Perceraian tidak terjadi dengan sendirinya. Tentu ada sesuatu yang menjadi penyebab dibalik peristiwa perceraian itu. Penyebab perceraian terdiri dari banyak segi. Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Jika konflik ini sampai pada titik dimana sikap ego lebih dimunculkan, maka peristiwa perceraian itu sudah berada di depan mata.
            Penyebab lain terjadinya perceraian adalah berkaitan dengan dinamika kehidupan modern. Makin banyaknya tuntunan hidup dalam dunia dewasa ini menyebabkan suami-istri itu hidup terpisah. Karena tuntunan tugas salah satu dari pasangan, entah itu suami atau istri. Maka masing-masing dapat merasa kesepian dan seperti tidak diperhatikan oleh pasangannya. Dalam keadaan seperti itu bisa saja istri atau suami tergoda untuk memutuskan sesuatu sebagai jalan pintas, demi kebutuhan jasmaninya.[21]

2.6 Model Keluarga Kristiani
2.6.1 Keluarga sebagai Komunitas Cinta Kasih
Keluarga dilihat sebagai komunitas cinta kasih sebab kasih menjadi dasar dan pegangan bagi para anggota untuk membangun hidup bersama. Keluarga kristiani tak sama dengan komunitas yang para anggotanya hidup bersama dibawah satu atap, tetapi tidak saling mengenai dan tidak membangun relasi apapun satu dengan yang lain. Mereka sungguh-sungguh orang asing bagi yang lain. Di dalam keluarga kristiani, cinta menjadi dasar dank arena itu ada keterbukaan dalam berkomunikasi, ada kedamaian, da nada sukacita di hati. Cinta itu berasal dari Allah yang mendorong mereka untuk saling mencintai dalam bentuk penyerahan diri secara total. Mereka menghidupi komitmen bersama untuk saling memberikan diri secara sempurna dan saling menaruh kepedulian dalam hidup sehari-hari[22].
Suami dan istri sama-sama sederajat sebab diciptakan segambar dengan Allah. Mereka memiliki kesamaan derajat, sebab itu dapat mmenjadi partner dan teman dalam membangun hidup bersama seperti yang dicita-citakan. Sebagai komunitas cinta kasih, perhatian tidak hanya berpusat pada kebahagiaan mereka berdua (suami-istri) tetapi juga pada anak-anak yang lahir dari keduanya. Perhatian ini penting sebab bukan saja demi masa depan anak, melainkan justru kehadiran anak besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang tua itu sendiri[23]. Ia menyimpulkan bahwa keluarga kristiani akan bertahan bila pertama, cinta yang tumbuh di hati mereka berasal dari cinta Tuhan. Kedua, cinta itu mesti bersifat total. Sebab itu mereka mesti menyerahkan diri secara total satu kepada yang lain. Ketiga, cinta demikian menuntut kesetiaan. Di dalam kesetiaan, orang saling mengingatkan untuk tidak menghancurkan cinta dan persekutuan yang telah dibangun bersama.
2.6.2 Keluarga sebagai Komunitas Hidup
Keluarga dilihat sebagai komunitas hidup, sebab di dalam hidup bersama, para anggota membentuk persekutuan hidup yang dibangun atas dasar kasih yang mesra[24]. Mereka saling menghidupkan, saling menumbuhkan semangat, dan saling meneguhkan bila ada persoalan. Apa yang dialami salah satu anggota dirasakan sebagai persoalan bersama. Disitu ada kesempatan untuk berdialog dan mencari penyelesaiannya. Bila anak dewasa, orang tua melibatkannya dalam percakapan menyangkut keluarga agar anak turut merasakan perjuangan orang tuanya, sekaligus sebagai persiapan diri ke masa depan sedapat mungkin dihindari kata dan sikap yang bisa melukai hati anggota lain. Rumah dijadikan sebagai tempat berkumpul dan bersekutu. Ada keluarga yang berantakan karena rumah hanya dijadikan sebagai hotel atau persinggahan belak













BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dewasa ini pemahaman banyak orang mengenai makna nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga keliru. Hal ini disebabkan antara lain karena kurangnya pendidikan yang integral dan sehat di bidang seksualitas dan perkawinan dari generasi ke generasi. Perkawinan adalah sebuah perjanjian timbal-balik antara seorang pria dan wanita. Perjanjian ini sangat unik dan khas bila ditinjau dari sudut subjek dan objeknya. Pertama-tama perjanjian ini digerakkan oleh cinta. Karena cinta dan demi cinta Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Namun, kehendak dan karya Allah tidak selesai di situ. Ia sekaligus memanggil mereka untuk saling mencintai.

3.2 Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sarana dan bantuan bagi mereka yang berkecimpung dalam tugas penggembalaan umat, yakni pastor paroki, pemuka jemaat, katekis dan para orangtua, terutama dalam memberikan katekese di bidang perkawinan, baik sebagai katekese umum maupun sebagai katekese khusus untuk mendampingi mereka yang sedang bersiap-siap menikah.







DAFTAR PUSTAKA

·         Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 18.
·         Ibid., hlm.18   
·         Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta,Pr, Analisis Bonum Coniugum Dalam Perkawinan Kanonik, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm. 7.
·         L. Prasetya, Pr, Allah Memberkati Hidup Berkeluarga, (Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 16-22.
·         Aloysius Lerebulan, MSC, Keluarga Kristiani Antara Idealisme dan Tantangan, (Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 41-42.
·         Tjatur Raharso, Paham Perkawinan Dala Hukum Gereja Katolik, (Malang: Dioma, 2014), hlm. 80-92.
·         Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm.46.
·         St. Darmawaijaya, Kesetiaan Suatu Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.46.
·         Ibid., hlm. 47.
·         Bernard Kieser, Paguyuban Manusia Dengan Dasar Firman, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50.
·         Ibid., hlm. 54. 
·         Drs. Gilarso, Membangun Keluarga Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 56.
·         Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (edit.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,  diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 599.
·         Ibid., hlm.600.
·         Maurice Eminyan, Sj, Teologi Keluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 2001). hlm. 69.
·         Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (edit.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Op.Cit., hlm. 349.
·         Robert Mirsel, SVD, Pasanganku Seorang Katolik: Sebuah Inspirasi Bagi Pasangan Kawin Campur Katolik-Non Katolik, (Maumere: LPBAJ, 2001), hlm. 100.
·         Y.Istiono Wahyu – Ostaria Silaban, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Karisma, 2006.
·         KGK., No. 1650.
·         Tonci R. Salawaney, Apakan Rumah Tangga Anda Bahagia?, (Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1998), hlm. 73.
·         Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, hlm.23.
·         Gaudium et Spes, No. 50.
·         Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, hlm. 85. Bdk. Gaudium et Spes, no.48.


















KATEKESE MENGENAI
PENTINGNYA NILAI KESETIAAN DALAM HIDUP BERKELUARGA

Tempat                       : Gereja Katolik St. Yosef Lawe Desky
Waktu                        : 19.00 s/d 22.00 WIB
Peserta                        : Orangtua
Metode                       : Ceramah
Sarana                        : Laptop, LCD, Kitab Suci
Sumber bahan           : Mat 19:1-9

1. Pemikiran Dasar
Setiap pasangan suami-istri tentu saja mempunyai impian agar membentuk keluarga yang damai dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataannya, masih ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam hidup berkeluarga. Hidup sebagai pasangan suami istri mencerminkan ikatan persatuan sebagai jemaat kristiani. Persatuan ini memiliki tantangan yang harus dibangun agar tidak mudah dipisahkan. Persatuan ini secara bertahap dapat dibangun dalam bentuk kesetiaan antara suami dan istri. Kesetiaan menjadi factor penting dalam usaha membangun keluarga. Kesetiaan ini juga dapat mendorong kepada sikap yang lain dalam usaha membangun kehidupan yang bahagia.
Pada zaman modern ini, kesetiaan sebagai suami dan istri mendapat pengaruh yang besar dari adanya dinamika kehidupan modern seperti gaya trend zaman sekarang. Akibatnya nilai kesetiaan itu menjadi hal sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan yang membuat seorang pribadi memegang teguh kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapannya yang sah. Akibat dari pengaruh modernsasi inilah yang menyebabkan perlunya suatu pembinaan bagi pasangan suami istri. Hal ini bertujuan agar mereka dapat memaknai kesetiaan yang dapat membangun kehidupan keluarga yang bahagia.
2. Tujuan
·         Agar peserta mampu memahami tentang kesetiaan sebagai suami dan istri
·         Agar peserta mampu memahami Dasar biblis tentang berdasarkan perikope injil Mat. 19:1-9

3. Langkah-langkah
·         Sapaan Fasilitator
Selamat Malam Bapak/Ibu sekalian? Bagaimana kabarnya hari ini? Semoga Tuhan selalu memberkati kita dan memberikan kesehatan serta kedamaian dalam hati kita masing-masing. Kita harus mengucapkan syukur kepada Tuhan karena Tuhan mengumpulkan kita di tempat ini dalam sukacita. Di malam hari ini, kita akan mendengarkan cerita pengalaman hidup mengenai kesetiaan dalam hidup berkeluarga. Apakah selama ini kita setia kepada pasangan kita dalam kehidupan sehari-hari atau kurang setia atau tidak sama sekali setia?. Nah….saat ini tema yang akan kita bahas dalam katekese kita pada malam hari ini ialah “Pentingnya Kesetiaan dalam Hidup Berkeluarga”. Maka untuk mengawali pertemuan ini, marilah kita bernyanyi dan berdoa bersama.






·         Lagu Pembuka

Cinta kasih Allah
PS- 659

Ulangan:
Cinta kasih Allah di curahkan dalam hati umat-Nya
Oleh Roh Ilahi, sumber kekuatan yang dikurniakan pada kita
Ayat:
Walau kaya raya ddan kuasa: walau cantik indah memesona
Walau pandai dan gagah perkasa percumalah tanpa cintakasih
Cinta kasih itu murah hati, cinta kasih sabar dan takwakal
Cinta kasih tidak memegahkan diri,tak mencuri keuntungan diri
Cinta kasih menutup segala, cinta kasih slalu percaya
Cinta kasih tak menharapkan segala mennggung kurban dengan gembira
Puji tuhan segala bangsa, tuhan karena cinta yang mengutus rohnya bagi kita, agar kia satu dalam bapa.
·         Doa pembuka
Mari kita bersatu dalam doa (Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, Amin)
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada-Mu Tuhan dimana kasih setia-Mu yang selalu menyertai kami dan memberikan selalu nafas kehidupan sehingga kami dapat berkumpul ditempat ini dalam sukacita. Ya Tuhan, sebelum kami meminta berkat kepada-Mu, ampunilah segala dosa-dosa kami agar kami dapat menerima berkat yang dari pada-Mu. Ya Tuhan kami memohon kepada-Mu kiranya Tuhan memberkati seluruh rangkaian katekese kami pada hari ini agar kami sungguh-sungguh memahami manfaat dan tujuan katekese ini diadakan bagi kehidupan kami sehari-hari terutama dalam kehidupan keluarga kami. Berkatilah juga keluarga kami Tuhan agar kami dapat setia pada pasangan kami masing-masing dalam keadaan suka maupun duka.Trimakasih ya Tuhan, kami serahkan seluruh kegiatan kami pada malam hari dan kehidupan kami. Demi Kristus dan Tuhan kami. Amin.
·         Cerita Pengalaman
Fasilitator mengajak peserta untuk mendengarkan serta memahami sebuah cerita yang merupakan salah satu pengalaman hidup berkeluarga yang pernah dialami oleh suami-istri.

“Martin seorang Suami yang Setia”
            Martin adalah seorang suami yang setia. Ia merawat istrinya Sarah setiap harinya dalam keadaan sakit parah. Hal ini berlangsung selama 6 tahun sejak sang istri terkena penyakit stroke yang menyebabkan sang istri lumpuh. Martin yang berusia 50 tahun seorang supir angkot Metro Mini di kawasan Tj.Priok-Jakarta Utara. Beliau menikah pada tahun 1988 dan telah dikarunia 2 orang anak laki-laki. Keluarga ini merupakan keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun, kebahagiaan itu telah berkurang setelah sang istri terkena penyakit stroke pada tahun 2010 yang lalu. Sejak pada saat itu, sang istri tidak mampu lagi mengurus pekerjaan rumah. Ia tak mampu berjalan dan berbicara. Sejak saat itu juga, Martin sang suami yang mengurus pekerjaan rumah, istri serta sebagai tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah. Demikian beliau lakukan sebagai bukti kesetiaan sebagai seorang suami kepada sang istri tercinta.
Martin selalu bangun setiap jam. 05:00 Pagi. Ia membersihkan rumah, memasak dan menyediakan sarapan untuk istri. Kemudian, beliau pergi untuk bekerja sebagai supir angkot. Siang harinya, beliau pulang untuk memasak


 dan memberi makan istrinya lalu ia kembali bekerja. Sore harinya, Ia pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan memandikan sang istri serta memberikan obat untuk sang istri setelah sang istri sudah makan. Kadangkala, Martin susah untuk tidur demi memperhatikan keadaan sang istri yang sedang kesakitan di tengah malam. Hal ini dilakukan sang suami setiap harinya kepada sang istri tercinta. Bukti kesetiaan Martin yang sudah ia lakukan selama 6 tahun dan ia masih sanggup mengurus rumah tangga, istri dan menjadi tulang punggung keluarga. Pada tahun 2016, Martin kehilangan sang istri selama-lamanya, yang sudah ia perjuangkan selama 6 tahun. Kini Martin hidup sendiri dan kadang-kadang anak-anaknya serta cucu-cucunya menjenguk ia untuk melihat keadaan Martin.
(Sumber: Pengalaman diangkat dari keluarga paman saya sejak tahun 2016 yang lalu)

Fasilitator memberi pertanyaan pendalaman dari cerita diatas.
Pertanyaan:
1.      Apakah pesan yang mau kita ambil dari cerita pengalaman diatas?
2.      Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami keadaan duka di dalam kehidupan berkeluarga?
3.      Apakah Bapak/Ibu setia dalam keadaan duka di dalam kehidupan berkeluarga?
4.      Apakah Bapak/Ibu pernah untuk mencari jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kehidupan berkeluarga dengan bercerai?

Langkah Pertama: Menggali Pengalaman
Pengantar
            Setelah kita mendengar cerita pengalaman diatas, sekarang kita melihat kebelakang tentang pengalaman kehidupan berkeluarga kita sebagai suami-istri. Apakah dalam kehidupan berkeluarga kita sudah saling setia?. Untuk mereview kembali pengalaman kehidupan berkeluarga kita, marilah kita mencoba menjawab pertanyaan dengan caranya: setiap suami-istri yang ingin mencoba menjawab pertanyaan, saya mohon bapak dan ibu sekaligus menceritakan pengalaman yang pernah bapak/ibu alami selama kehidupan berkeluarga.

Pengungkapan Pengalaman
            Fasilitator memberi sebuah pertanyaan agar peserta mau mensharingkan pengalamannya tentang kesetiaan dalam kehidupan berkeluarga.
1.      Saat pertama kali bapak dan ibu telah dipersatukan melalui sakramen perkawinan, apa yang bapak dan ibu rasakan pada saat itu? Mengapa?
2.      Apakah pada saat bapak dan ibu telah mengikat janji untuk setia dalam hidup perkawinan, bapak dan ibu sungguh-sungguh siap menerima apapun yang akan terjadi kedepannya?
3.      Apakah bapak dan ibu pernah mengalami konflik yang sangat hebat yang membuat bapak dan ibu hampir mau berpisah?
4.      Apa yang membuat bapak dan ibu tetap setia dalam kehidupan berkeluarga? Ceritakanlah pengalaman bapak dan ibu.
Pemaknaan
            Setiap pasangan yang sudah mengikat janji perkawinan dan hidup berkeluarga, kesetiaan terhadap pasangannya masing-masing merupakan hal yang sangat terpenting. Kesetiaan mengngkapkan bahwa kita mau hidup dan mati, senang atau sedih, suka atau duka dengan pasangan kita. Kita mau menerima kekurangan atau kelebihan dari pasangan kita. Dalam menjalani hidup berkeluarga harus dilandasi oleh cinta yang tulus agar kita dapat merasakan cinta yang benar-benar itu cinta dari hati pasangan kita masing-masing. Melalui sakramen perkawinan, kita harus memberikan cinta yang tulus lewat janji perkawinan untuk setia dalam suka maupun duka kehidupan berkeluarga. Perkawinan katolik tidak dapat terceraikan kecuali diceraikan oleh kematian. Marilah kita bapak dan ibu yang sudah menjalin cinta dalam hidup berkeluarga untuk tetap hidup rukun dalam keluarga dan sama-sama bergandengan tangan untuk menghadapi rintangan dalam kehidupan berkeluarga demi tercapainya kebahagiaan.

Langkah Kedua: Merefleksikan Pengalaman
Pengantar
            Setelah kita bersama-sama mensharingkan dan mendengarkan pengalaman hidup kita, marilah kita bersama-sama memaknai dan menggali lebih dalam lagi mengenai pengalaman tersebut.

Pendalaman pengalaman
1.      Bagaimana sikap bapak dan ibu yang terutama sebagai pasangan suami-istri?
2.      Pernahkah bapak dan ibu mengutamakan nilai kesetiaan dalam hidup berkeluarga saat mengalami kehidupan yang buruk atau saat menerima pengalaman pahit?
3.      Mengapa bapak dan ibu tetap setia terhadap pasangannya masing-masing?



Pemaknaan
            Pengalaman bahagia dan sedih tentunya pernah kita alami dalam hidup sebagai keluarga kristiani. Terkadang kita lebih banyak mengharapkan kebahagiaan daripada kesedihan dalam keluarga. Namun di dalam kehidupan ini, kita tidak hanya selalu dalam keadaan bahagia pasti juga pernah mengalami keadaan sedih. Meskipun begitu, kebahagiaan dan kesedihan merupakan proses kehidupan yang kita jalani dalam kehidupan berkeluarga terutama sebagai murid Yesus. Dalam pengalaman yang demikian, kesetiaan terhadap pasangan harus menjadi dasar yang penting. Dengan melalui ini, kita diajak untuk membina hidup berkeluarga untuk tetap harmonis dan menjadi keluarga kristiani yang kudus.


Langkah Ketiga: Renungan Sabda / Dasar Biblis
Pengantar
            Bapak dan ibu yang terkasih, setelah kita bersama-sama mensharingkan dan mendengarkan pengalaman hidup kita. Maka, pada kesempatan ini kita akan mendengarkan dan merenungkan Sabda Allah yang diambil dari Injil Mat. 19:1-9.

Mat 19:1-9
“Perceraian”
Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana. Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak ssemula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”

Penegasan dari fasilitator
            Hidup sebagai pasangan suami isteri merupakan kehidupan yang indah. Hal ini dapat kita rasakan bilamana dalam hidup sehari-hari, kita saling menaruh sikap setia terhadap pasangan kita. Kesetiaan secara umum merupakan kebajikan yang membuat seseorang menjadi pribadi yang memegang teguh kata-kata dan janji-Nya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapannya yang sah, sebagai keluarga katolik. Kesetiaan merupakan hal yang terpenting dalam membina hidup berkeluarga sebab kesetiaan sebagai pasangan suami-isteri merupakan ikatan kesatuan yang utuh dan tidak terceraikan. Seperti dalam injil dikatakan bahwa “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” Sabda Allah ini menjadi suatu pedoman bagi pasangan suami-isteri agar selalu setia dengan pasangannya. Hal ini mengungkapkan bahwa menjadi satu keluarga merupakan karya Allah. Allah telah mempersatukan atau menjodohkan kita sehingga membentuk keluarga katolik. Maka, persatuan sebagai pasangan suami-isteri juga merupakan persatuan antara kita dengan Allah.

Pertanyaan Pendalaman
1.      Apakah pengalaman bapak dan ibu dalam membina kesetiaan sebagai pasangan suami-isteri sudah selaras dengan yang diajarkan dalam Firman Allah?
2.      Pesan apa yang dapat bapak dan ibu ambil tentang Firman Allah Injil Mat. 19:1-9?


Penegasan
            Dalam membina hubungan keluarga, tentunya akan menghadapi berbagai permasalahan hidup. Permasalahan ini harus ditanggapi secara bijaksana agar tidak membuat persatuan hubungan sebagai suami-isteri menjadi tercerai-berai.seperti yang telah difirmankan Allah bahwa menjadi satu keluarga merupakan bentuk persatuan yang utuh dan tidak boleh terceraikan. Semuanya itu harus dilandasi dengan kesetiaan antara suami dan isteri.

Langkah Kelima: Doa Umat
1.      Bagi Gereja Dan Pemimpin Gereja
Ya Bapa yang maha baik terima kasih atas berkatmu kepada kami hari ini yang tak ada henti-hentinya.Ya Bapa kami berdoa bagi Gereja dan pemimpin kami agar mereka senantiasa melayanimu dengan penuh semangat dan begitu juga dengan kami yang menjalani hidup berkeluarga, agar mau dan aktif dalam membantu mereka melayani Gereja.
Kami mohon! (kabulkanlah doa kami ya Tuhan)                

2.      Bagi Mereka Sakit Dan Menderita
Ya bapa, kami juga berdoa bagi mereka yang sakit agar engkau kiranya mengambil penyakit mereka melalui obat yang mereka minum. Begitu juga dengan kami yang menjalani hidup berkeluarga, agar peduli terhadap mereka yang skit terutama yang ada di sekitar kami.
Kami mohon! (kabulkanlah doa kami ya Tuhan)

3.      Bagi Pasangan Suami-Isteri
Ya bapa, kami juga berdoa bagi mereka yang telah kau satukan dalam ikatan janji perkawinan. Semoga mereka tetap setia kepada pasangan mereka masing-masing sehingga mereka dapat menjadi keluarga katolik yang harmonis dan rukun.
Kami mohon! (kabulkanlah doa kami ya Tuhan)
4.      Bagi kita Yang Berkumpul Disini
Ya Tuhan, kami berdoa bagi kami di sini. Agar kami OMK semakin sadar dan mau berpartisispasi dalam hidup menggereja sehingga gerejamu semakin maju dan berkembang.
Kami mohon! (kabulkanlah doa kami ya Tuhan)

Saudara-saudara sekalian marilah kita satukan doa kita dengan doa yang di ajarkan tuhan kepada kita …    (BAPA KAMI)

4. Penutup
Kesimpulan
Kesetiaan merupakan kebajikan yang membuat seorang pribadi memegang teguh kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapannya yang sah. Kesetiaan mencerminkan pribadi kita masing-masing dalam membangun hubungan yang erat sebagai suami dan istri. Sebenarnya kita telah menerima kesetiaan itu, yakni kesetiaan Allah untuk perutusan Roh Kudus yang selalu menyertai kehidupan kita. Kesetiaan Allah inilah yang menjadi pusat kesetiaan kita terhadap pasangan kita. Jika Allah setia kepada kita, sudah selayaknya juga kita selalu setia terhadap pasangan kita. Sebagai wujud nyata kesetiaan kita kepada Allah. Kita tidak perlu cemas apakah kita akan berhasil atau tidak dalam membangun kesetiaan itu. Namun ketekunan kita dalam memperjuangkan kesetiaan itu memiliki pengaruh besar dalam pencapaian kita untuk hidup dalam keluarga yang penuh dengan kebahagiaan.






Doa Penutup
            Ya Bapa, kembali kami mengucap syukur kepada-Mu karena berkat selalu menyertai kami hingga pada saat ini. Semoga kami Tuhan dapat memahami dan melaksanakan apa saja yang sudah dijelaskan dan kami dengarkan. Kami belajar dari pengalaman orang lain dan kami akan memperbaiki kesalahan-kesalahan atau perbuatan kami hingga membuat kami berpikir untuk bercerai dalam keadaan/situasi yang kacau. Melalui pertemuan ini, kami sadar bahwa kesetiaan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan berkeluarga kami. Semoga kami dapat menerapkan kesetiaan itu dalam diri pasangan kami masing-masing. Inilah doa seruan kami Ya Tuhan, karena kami berdoa melalui perantaraan Yesus Kristus Juru S’lamat kami.
 (Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus)
AMIN
















[1]  A. Tjatur Raharso, Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik, (Malang: Dioma, 2014), hlm.21.
[2]  Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katol               ik menurut Kitab Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 18.
[3] Ibid., hlm.18.                                                                                
[4] Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta,Pr, Analisis Bonum Coniugum Dalam Perkawinan Kanonik, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm. 7.
[5] L. Prasetya, Pr, Allah Memberkati Hidup Berkeluarga, (Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 16-22.
[6] Aloysius Lerebulan, MSC, Keluarga Kristiani Antara Idealisme dan Tantangan, (Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 41-42.
[7] A. Tjatur Raharso, Paham Perkawinan Dala Hukum Gereja Katolik, (Malang: Dioma, 2014), hlm. 80-92.
[8]  Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm.46.
[9]  St. Darmawaijaya, Kesetiaan Suatu Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.46.
[10]  Ibid., hlm. 47.
[11] Bernard Kieser, Paguyuban Manusia Dengan Dasar Firman, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50
[12] Ibid., hlm. 54.        
[13] Drs. Gilarso, Membangun Keluarga Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 56.
[14]  Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (edit.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,  diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 599.
[15]  Ibid., hlm.600.
[16]  Maurice Eminyan, Sj, Teologi Keluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 2001). hlm. 69.
[17]  Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (edit.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Op.Cit., hlm. 349.
[18]  Robert Mirsel, SVD, Pasanganku Seorang Katolik: Sebuah Inspirasi Bagi Pasangan Kawin Campur Katolik-Non Katolik, (Maumere: LPBAJ, 2001), hlm. 100.
[19] Y.Istiono Wahyu – Ostaria Silaban, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Karisma, 2006.
[20]  KGK., No. 1650.
[21]  Tonci R. Salawaney, Apakan Rumah Tangga Anda Bahagia?, (Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1998), hlm. 73.
[22] Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, hlm.23.
[23] Gaudium et Spes, No. 50.
[24] Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, hlm. 85. Bdk. Gaudium et Spes, no.48.

Pendidikan dan pengajaran agama katolik

DATA GURU DAN PEGAWAI UNIT TK SANTO PAULUS

 DATA GURU DAN PEGAWAI  UNIT TK SANTO PAULUS KEPALA SEKOLAH TK SANTO PAULUS NAMA                : ANGELINA K SINAGA  TTL                    ...