DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
1.1
Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah......................................................................................................... 2
1.3
Tujuan........................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 3
2.1
Arti Perkawinan............................................................................................................ 3
2.1.1 Hakikat Perkawinan Kristiani.............................................................................. 3
2.1.2 Tujuan Perkawinan Kristiani............................................................................... 4
2.1.3 Sifat-sifat Hakiki Perkawinan
Kristiani............................................................... 5
2.2
Perkawinan sebagai sakramen...................................................................................... 6
2.2.1 Pengertian Umum................................................................................................ 6
2.2.2
Perkawinan sebagai salah satu dari tujuh sakramen............................................ 6
2.2.3 Identifikasi antara perjanjian
nikah dan sakramen.............................................. 7
2.2.4 Perkawinan in feri dan perkawinan in
facto esse................................................. 8
2.3
Pengertian Kesetiaan.................................................................................................... 9
2.4
Landasan Biblis Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri...................................... 10
2.4.1 Kesetiaan Yahwe Kepada Bangsa
Israel............................................................ 10
2.4.2
Kesetiaan Kristus Kepada Gereja-Nya............................................................... 11
2.5
Masalah-masalah dalam Hidup Berkeluarga............................................................... 11
2.5.1 Perselingkuhan.................................................................................................... 11
2.5.2 Perceraian........................................................................................................... 12
2.6
Model Keluarga Kristiani............................................................................................ 13
2.6.1 Keluarga sebagai Komunitas Cinta
Kasih.......................................................... 13
2.6.2 Keluarga sebagai Komunitas Hidup................................................................... 14
BAB III PENUTUP........................................................................................................ 15
3.1
Kesimpulan.................................................................................................................. 15
3.2
Saran............................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 16
BAHAN KATEKESE.................................................................................................... 18
KATA PENGANTAR
Dewasa ini pemahaman banyak orang
mengenai makna nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga
keliru. Hal ini disebabkan antara lain karena kurangnya pendidikan yang
integral dan sehat di bidang seksualitas dan perkawinan dari generasi ke
generasi. Penyebab utamanya ialah Praktik kawin-cerai-kawin lagi di kalangan
para selebriti sering menjadi tontonan umum bahkan pembicaraan dan gosip yang
hangat dan menarik di kalangan orang muda dan juga orangtua. Bagi anak-anak dan
remaja semuanya, itu menjadi contoh dan kesaksian yang sebenarnya tidak sehat
dan tidak mendidik sehingga mengacaukan dan merancukan dalam diri sendiri suatu
gambaran mengenai perkawinan yang benar dan sejati. Paham dan nilai fundamental
yang digerogoti itu terutama yang berasal dari hukum kodrat, yakni nilai
kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan, nilai monogam dan tak-terputuskannya
perkawinan, serta nilai kesetiaan. Sekarang ini banyak orang yang kurang
memahami, menghargai, bahkan semakin mempertanyakan tidak hanya sifat-sifat
khas dan tujuan-tujuan hakiki perkawinan.
Dalam penulisan makalah ini, banyak
pihak yang telah membantu penulis. Karena itu, pantaslah penulis berterima
kasih kepada mereka semua.
Secara
khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan
yang Maha Esa atas Anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan tepat waktu
2. Ibu
Ona Sastri Lumban Tobing, S.Ag.,M.Th, sebagai dosen pengampu mata kuliah
Administratif Paroki
3. Staff
Perpustakaan yang memberi pinjaman buku
4. Teman-teman
semuanya serta orangtua yang memberi semangat dan dukungan untuk menyelesaikan
tugas makalah ini.
No Body Perfect. Tiada satu pun manusia yang
sempurna. Penulis mengakui bahwa tugas makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karena itu, penulis sangat terbuka menerima kritik dan saran yang
membangun demi menyempurnakan tugas makalah ini. Semoga tugas makalah ini dapat
berguna bagi para pembaca terutama bagi mereka yang tetap teguh menghayati
nilai kesetiaan dalam perkawinannya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan adalah sebuah perjanjian timbal-balik
antara seorang pria dan wanita. Perjanjian ini sangat unik dan khas bila
ditinjau dari sudut subjek dan objeknya. Pertama-tama perjanjian ini digerakkan
oleh cinta. Karena cinta dan demi cinta Allah menciptakan manusia, laki-laki
dan perempuan. Namun, kehendak dan karya Allah tidak selesai di situ. Ia
sekaligus memanggil mereka untuk saling mencintai.[1]
Sepasang suami-istri melibatkan
gereja di dalam proses perkawinan. Gereja merasa ikut campur dalam mengambil
bagian atas kewajibannya untuk membantu kedua mempelai menjalani kehidupan
berkeluarga. Sejak awal pembentukan sebuah keluarga, pihak gereja sudah
membantu calon-calon keluarga baru untuk menghadapi tantangan dalam hidup
berumah tangga. Sepasang suami-istri bertugas untuk membantu tugas bangsa dan
gereja dalam hal pendidikan mengenai kehidupan anak. Pendidikan dalam keluarga
ini adalah sangat penting. Awal dari sosialisasi Ilmu pengetahuan dan
pengalaman dimulai dari keluarga. Maka tidak jarang kita mendengar bahwa
keluarga adalah juga “sekolah kecil”. Di dalam keluarga inilah etika, sopan
santun, tata krama dan cinta kasih mulai diajarkan.
Di zaman modern ini, perubahan dalam
membentuk sebuah keluarga baru sangatlah sulit karena menghantar orang pada
sikap lebih mudah untuk memutuskan bercerai. Fakta perceraian di masyarakat
kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Beberapa anggapan bahwa hidup dalam
perkawinan terlalu sukar untuk dipertahankan dan perceraian menjadi semacam
solusi alternative apabila masa sukar dalam hidup perkawinan itu muncul.
Situasi ini merupakan masalah nilai kesetiaan dalam sepasang suami-istri
sangatlah krisis yang menyebabkan kesejahteraan keluarga menjadi merosot.
Kesetiaan adalah suatu keputusan untuk tetap pada komitmen atau janji yang
telah diucapkan untuk membangun relasi dalam satu hubungan. Kesetiaan menjadi
tolok ukur dalam sebuah keutuhan sebuah perkawinan.
Kemorosotan nilai kesetiaan belum
dihayati secara utuh dalam kehidupan berkeluarga. Pentingnya nilai kesetiaan
yang perlu sebagai syarat demi kesejahteraan hidup berkeluarga. Kesetiaan itu
mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Pembahasan tentang nilai
kesetiaan dalam perkawinan kristiani sangatlah penting. Mengingat Pentingnya
nilai kesetiaan dalam perkawinan bagi kesejahteraan keluarga katolik, maka
penulis memutuskan untuk mengangkat tema ini sebagai tema yang akan dibahas di
makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
itu Arti Perkawinan?
2. Apa
itu Perkawinan sebagai sakramen?
3. Apa
Pengertian Kesetiaan?
4. Bagaimana
Landasan Biblis Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri?
5. Bagaimana
Masalah-masalah dalam Hidup Berkeluarga?
6. Bagaimana
Model Keluarga Kristiani?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui Apa itu Arti Perkawinan.
2. Untuk
mengetahui Apa itu Perkawinan sebagai sakramen.
3. Untuk
mengetahui Apa Pengertian Kesetiaan.
4. Untuk
mengetahui Bagaimana Landasan Biblis Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri.
5. Untuk
mengetahui Bagaimana Masalah-masalah dalam Hidup Berkeluarga.
6. Untuk
mengetahui Bagaimana Model Keluarga Kristiani.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Arti Perkawinan
2.1.1 Hakikat
Perkawinan Kristiani
Kanon
1055 ini merupakan kanon doctrinal dan mengartikan perkawinan sebagai sebuah
perjanjian (foedus, consensus, covenant)
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan
seluruh hidup. Definisi ini mempunyai latar belakang pada dokumen Konsili
Vatikan II, Gaudium et Spes art. 48, yang mengartikan perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan
bukan lagi sebagai contractus (sebuah
kontrak).[2]
Rumusan dari kanon 1012
KHK 1917 ini memandang perkawinan sebagai suatu institusi yang sangat statis,
yaitu sebagai sebuah kontrak: persetujuan antara dua atau beberapa orang yang
saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan, atau menghindarkan sesuatu.
Perkawinan merupakan sebuah kontrak karena memang merupakan suatu persetujuan
bilateral antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.[3]
2.1.2 Tujuan Perkawinan Kristiani
Perkawinan Katolik itu sendiri mempunyai tujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan suami-istri serta terarah pada kelahiran dan
pendidikan anak, seperti yang dirumuskan dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 1055
paragraf 1, “… yang menurut ciri kodratnya terarah pada kesejahteraan
suami-istri (bonum coniugum) serta
kelahiran dan pendidikan anak”.
· Kesejahteraan suami-istri
Kesejahteraan
suami-isteri adalah salah satu tujuan dari hidup perkawinan, yang dipahami
sebagai persekutuan seluruh hidup seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Namun, tujuan ini hanya bisa terwujud jika pasangan suami-isteri tersebut
sungguh-sungguh saling memberi diri secara total dalam kesetiaan satu sama
lain.[4] Kesejahteraan
suami-istri dapat dipahami secara berbeda oleh setiap orang dengan sudut
pandangannya. Ada orang yang berpandangan bahwa suami-istri dikatakan sejahtera
bila mempunyai harta yang berlimpah serta rumah yang mewah. Kesejahteraan
suami-istri yang dimaksudkan adalah kebersamaan hidup yang dialami dan
dirasakan oleh suami-istri disaat:
1. Mereka
dapat saling memberikan diri dan menerima pasangannya dengan penuh kasih dan
ketulusan hati, termasuk ketika melakukan hubungan persetubuhan. Melalui
pemberian diri dan penerimaan terhadap pasangannya, mereka diharapkan dapat
hidup sehati, seperasaan, dan sepikir dalam menekuni hidup berkeluarga.
2. Mereka
dapat saling menyesuaikan dan menyempurnakan pasangannya. Dengan membangun
hidup berkeluarga bukan berarti keduanya lalu saling meleburkan dirinya,tetap
mereka tetap hidup dengan dirinya masing-masing, yang meliputi kepribadiannya,
pola pikirnya, harapannya, dan sebagainya.
·
Kelahiran
Anak
Kehidupan berkeluarga hendaknya dijalani dengan
penuh sukacita dan kebahagiaan oleh suami-istri, demi terwujudnya hidup
berkeluarga yang harmonis. Keharmonisan ini harus diupayakan terus-menerus,
termasuk pada saat melakukan hubungan persetubuhan. Hubungan persetubuhan itu
sendiri dipahami sebagai relasi timbal balik antara suami-istri sebagai ungkapan
cinta yang tulus dan total dari keduanya yang didasarkan pada keterbukaannya
terhadap kelahiran anak sebagai buah cintanya.
·
Pendidikan
Anak
Kelahiran anak membawa konsekuensi terhadap
pendidikan anak. Orang tua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya dan penuh
tanggung jawab, meski tidak mudah, apalagi di zaman sekarang ini. Mereka
sebaiknya memikirkan dan mengupayakan pendidikan yang utuh dan menyeluruh,
“Orang yang mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga
mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, dan kultural, maupun moral
dan religius”. Sebagai pendidik pertama dan utama, orang tua harus mendidik
sendiri anaknya sehingga mereka sungguh bertanggung jawab terhadap pendidikan
anaknya.[5]
2.1.3 Sifat-sifat Hakiki Perkawinan Kristiani
Perkawinan kristiani pada hakikatnnya bersifat
unitas, indissolubilitas, dan sacramental. Kan.1056 menyatakan, “Sifat-sifat hakiki
(proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat
tak dapat diputuskan) yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan
khusus atas dasar sakramen”.
Banyak orang merasa berat dengan perkawinan Katolik
sebab sangat mempertahankan unitas dan
indissolubilitas itu. Bagaimana kalau
suatu saat pasangan ini tidak bisa bertahan karena konflik, demikian pertanyaan
orang. Menurut pendapat saya, orang yang sejak awal sudah memikirkan tentang
konflik yang akan terjadi, menunjukkan bahwa yang bersangkutan belum yakin akan
cintanya sendiri atau cinta pasangan terhadap dirinya. Bila ini benar,
sebaiknya pernikahan ditunda dulu sebab ia sendiri masih ragu-ragu. Bahwa
memikirkan konflik di masa depan keluarga adalah sesuatu yang positif, sebab
calon pengantin sudah bisa mengambil strategi yang perlu untuk membangun
keluarga. Tetapi memikirkan konflik di masa yang akan datang yang memengaruhi pengambilan keputusan entah
menikah atau tidak berdasarkan kebijakan Gereja tentang unitas dan indisolubilitas,
menunjukkan bahwa kedua calon ini belum matang dan dewasa terhadap dirinya
sendiri. Penyerahan diri secara total masih diragukan. Sebaiknya perkawinan
ditunda sampai pada suatu keputusan yang pasti.
Sebetulnya, prinsip dasarnya adalah orang
mau menikah sebab mau hidup bersama sampai maut memisahkan. Tak ada seorang
laki-laki dan seorang perempuan membangun hidup berkeluarga hanya untuk
sementara waktu. Karena itu, setiap pasangan yang akan menikah semestinya
mengoreksi secara benar hatinya sendiri dan belajar mengenal secara mendalam
hati pasangan yang dipilih, seberapa mendalam mereka saling mencintai dan sudah
siap melangkah menuju perkawinan. Kursus-kursus perkawinan sebelum peneguhan
nikah adalah cara yang dipakai Gereja untuk mengecek pemahaman serta kesiapan
dari para calon pengantin agar tidak ada halangan bagi keduanya[6].
2.2 Perkawinan sebagai
sakramen
2.2.1 Pengertian Umum
Kan. 1055 paragraf 1 diakhiri dengan frasa (antara
orang-orang yang dibaptis diangkat oleh Kristus Tuhan ke martabat sakramen).
Sebagaimana sudah disinggung, inilah yang sebenarnya merupakan frasa induk
dalam teks normatifs kanon tersebut, yakni bahwa perjanjian perkawinan antara
dua orang yang dibaptis diangkat oleh Yesus Kristus tidak mengadakan atau
menciptakan sesuatu yang belum ada menjadi ada, melainkan mengangkat sesuatu
yang sudah ada ke dalam martabat yang baru. Dengan kata lain, perkawinan adalah
realita ciptaan atau lembaga natural yang sudah ada sejak dunia dan manusia
dijadikan. Hal baru yang dibawa dan dianugerahkan oleh Kristus kepada dunia dan
manusia ialah menebus dan mengangkat lembaga natural tersebut ke martabat
sakramen.
2.2.2 Perkawinan
sebagai salah satu dari tujuh sakramen
Selain dimengerti sebagai sakramen dalam arti umum,
perkawinan antara dua orang yang dibaptis adalah sakramen dalam arti sempit dan
teknis, yakni sebagai salah satu dari 7 (tujuh) Sakramen Gereja. Dengan kata
lain, sakramen perkawinan adalah cinta-kasih suami-istri kristiani yang
dinyatakan dalam kesepakatan nikah timbal-balik dalam sebuah ritus liturgis.
Sebagaimana sudah kita ketahui, ajaran Gereja mengenai tujuh sakramen
diresmikan pertama kali oleh Konsili Lyon II (1274), kemudian Konsili Florence
(1439), lalu ditegaskan kembali oleh Konsili Trente (1563).
Sakramen pertama-tama adalah tindakan Kristus.
Melalui tindakan ritual Gereja, Kristus mengaktualisasi karya penyelamatan-Nya
berkat Roh Kudus yang hadir dan menghidupi ritus tersebut. Ritus liturgis tidak
men-duplikasi atau me-repetisi peristiwa penyelamatan, melainkan menjadikan
karya keselamatan Kristus disponibel dan
hadir dalam rangka membangun Gereja, dan sekaligus menjadi momen bagi umat
beriman kristiani untuk berpartisipasi dalam kemenangan Paskah pada waktu
mereka memasuki atau mengawali tahapan-tahapan dan momen-momen penting dalam
kehidupan kristiani mereka.
Menurut Bahasa teologis St. Thomas Aquinas, dalam
sakramen perkawinan ada tanda yang kelihatan (visible sign, sacramentum tatum), yakni pertukaran kesepakatan
nikah. Materia dan tanda ini ialah sepasang laki-laki dan perempuan yang saling
memberi dan menerima diri sebagai suami-istri. Forma dari tanda itu ialah
manifestasi eksternal dari kesepakatan timbal balik. Selain itu, dalam setiap
sakramen ada hal atau peristiwa yang ditandakan atau dikandung dalam tanda itu
(res et sacramentum), yakni ikatan
suami-istri yang bersifat tetap. Antara dua orang yang dibaptis ikatan ini
merupakan tanda kesatuan tak-terputuskan antara Kristus dan Gereja.
Selanjutnya, ada efek atau buah supranatural yang dihasilkan (res tantum) oleh
sakramen itu, yakni rahmat adikodrati.
2.2.3 Identifikasi
antara perjanjian nikah dan sakramen
Kan. 1055 paragraf 2 menetapkan: “Karena itu antara
orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak
dengan sendirinya merupakan sakramen”. Kanon ini mengambil secara utuh dan
tanpa mengubah sedikit pun ketentuan kan. 1012 paragraf 2 dari KHK 1917.
Ketentuan ini menyambung kalimat terakhir dari
paragraph sebelumnya. Hal itu ditunjukkan dengan kata pembuka “karena itu”.
Bahkan ada kesan pengulangan, karena disinggung lagi sakramentalis perkawinan
antara dua orang dibaptis. Namun, yang khas dari kanon ini ialah pencantuman
kata “dengan sendirinya” (eo ipso)
yang mengesankan suatu identifikasi otomatis antara perkawinan sah dua orang
dibaptis dengan sakramen. Dengan kata lain, ada kesamaan (identity), penyamaan (equalization
atau equivalence) dan ke-takterpisah-an (inseparabilitas) antara perjanjian perkawinan dan sakramen. Perlu
dicatat juga bahwa yang di-identik-kan dengan sakramen dalam kanon itu ialah
perkawinan sebagai kontrak yuridis dan legal (contructus, contract), sehingga dari sini sakramen perkawinan
sering disebut sebagai sakramen ikatan (sacrament
of bond).
2.2.4 Perkawinan in feri dan perkawinan in facto esse
Kedua istilah ini sebenarnya tidak ada dalam teks,
namun banyak digunakan dalam doktrin dan yurisprudensi kanonik. Istilah ini
merupakan sebuah abstraksi metodologis yang berasal dari periode skolastik,
khususnya St. Thomas Aquino. Meski demikian, konsep yang mendasarinya sangat
berguna untuk mengerti realitas perkawinan yang kaya dimensi itu. Kedua istilah
itu mau menunjukkan bahwa setiap perkawinan selalu tampil dengan dua aspek atau
momen yang berbeda, namun sangat berkaitan dan bahkan tak-terpisahkan satu sama
lain. Di dalam setiap perkawinan selalu ada aksi bersama dari pasangan
suami-istri yang menciptakan dan memulai perkawinan, dan ada status atau
situasi yang timbul dari aksi mereka itu untuk dihayati bersama-sama seumur
hidup. Kan 1134 menunjukkan secara implisit dua momen yang tak terpisahkan itu:
“Dari perkawinan sah timbul ikatan antara suami-istri, yang dari kodratnya
bersifat tetap dan eksklusif.”
Istilah matrimonium
in feri diterjemahkan ke dalam Bahasa inggris menjadi marriage in the act of being constituted atau marriage in the making. Istilah itu mau menunjukkan tindakan
bersama suami-istri untuk meneguhkan perkawinan melalui kesepakatan yang saling
mereka berikan dan terima. Dengan kata lain, perkawinan in feri ialah tindakan kontrak bilateral
atau timbal balik serta formal antara dua orang yang menurut hukum mampu,
melalui kesepakatan nikah yang dinyatakan secara legitim, dengan mana
suami-istri saling memberi diri dan saling menerima melalui perjanjian yang tak
dapat ditarik kembali, yang terarah kepada terbentuknya perkawinan. Selanjutnya,
istilah matrimonium in facto esse diterjemahkan
ke dalam Bahasa inggris menjadi marriage
in the act of being lived out atau
marriage in fact. Istilah ini mau menunjukkan perkawinan sebagai kebersamaan
atau persekutuan hidup suami-istri (consortium
totius vitae), atau ikatan perkawinan yang lahir dari perjanjian
perkawinan.[7]
2.3 Pengertian Kesetiaan
Kata kesetiaan
berasal dari kata dasar setia yang
berarti: patuh, taat, tetap dan teguh hati, berpegang teguh.[8]
Kesetiaan merupakan nama lain dari sikap manusia yang harus menghadapi
kesulitan yang rumit, namun masih bisa mempersoalkan arti, peranan dan maknanya
bagi proses pengembangan hidup ini. Kesetiaan memang sebuah nama yang
menunjukkan kenyataan yang tidak mudah diamati. Kesetiaan menyangkut pengertian
kasih, kerahiman, karunia yang ditawarkan dalam hidup ini dan menuntut
pertanggungjawaban yang tetap dan terus menerus. Kesetiaan adalah tanda bukti
kasih yang tidak luntur oleh kesulitan hidup.[9]
Dalam Kitab Suci, Kesetiaan kerap
kali untuk menunjukkan sifat Allah dan sifat itu erat sekali hubungannya dengan
kerahiman atau kasih karunia yang dinyatakan kepada manusia.[10]
Di dalam Perjanjian Lama, Kesetiaan dikenal dengan istilah hen dan hesed. Hen berarti Allah yang terus menerus
mengaruniakan kasih-Nya.[11]
Sedangkan istilah hesed lebih
menunjukkan pada hubungan yang menimbulkan sikap tertentu yaitu sikap saling
menghargai, saling menghormati dan saling menerima.[12]
Selain itu, kata
kesetiaan diterjemahkan dengan istilah kharis,
yang terutama dipakai oleh St. Paulus dalam tulisan-tulisannya. Kata kharis memiliki arti yang beraneka
ragam. Terutama kharis menunjuk pada kebaikan, keelokan, keindahan, juga
kerapkali diartikan sebagai karunia, hadiah kebaikan (Kol 4:6).[13]
2.4 Landasan Biblis
Tentang Kesetiaan Perkawinan Suami-Istri
2.4.1 Kesetiaan Yahwe
Kepada Bangsa Israel
Kesetiaan Allah kepada
bangsa Israel umat pilihan-Nya selalu menjadi titik tolak refleksi iman tentang
kesetiaan suami-istri. Para nabi berulangkali menggambarkan hubungan kasih
setia Allah terhadap bangsa Israel dengan menggunakan gambaran hubungan kasih
setia suami-istri. Dalam Yehezkiel ditampilkan mengenai Yerusalem sebagai istri
yang tidak setia kepada Allah (Yeh 16:1-63). Teks ini merupakan bab terpanjang
dalam kitab Yehezkiel. Teks ini juga dipilih karena merefleksikan secara
mendalam tentang hubungan Allah dan Israel yang kemudian dapat diaplikasikan
kedalam bentuk hubungan antara suami-istri. Allah digambarkan sebagai suami dan
Israel (Yerusalem) adalah istri-Nya. Yehezkiel menggambarkan Israel (Yerusalem)
sebagai anak yatim yang diterlantarkan oleh orangtua dan sanak saudaranya.
Allah menemukan Yerusalem yang terlantar itu dan memeliharanya. Segala
keperluan yang dibutuhkannya dipenuhi. Kemudian Allah pergi. Ketika Yerusalem
tumbuh menjadi dewasa. Allah kembali lagi dan menikahi kota itu, membanjirinya
dengan hadiah dan mengambilnya sebagai istri.[14]
Walaupun Israel (sang istri) berlaku
tidak setia dengan melacurkan dirinya, namun Allah (Suami Israel) tetap setia
kepada Israel. Allah mengadakan kembali prrjanjian-Nya dengan Yerusalem (Yeh
16:62-63). Dengan kemurahan yang melimpah, Allah memaafkan Yerusalem.[15]
Demikian Allah tetap mencintai Israel dan berlaku setia dengan cinta yang
penuh. Gambaran di atas secara eksplisit dapat ditemukan dala Kitab Nabi Hosea,
yang mempunyai bukti asli tentang realitas ganda ini dalam keluarganya sendiri
(Hos 1:2-9; 3:1-5). Istri Hosea, Gomer meninggalkannya dan melakukan
perzinahan. Kemudian, Hosea diperintahkan oleh Yahwe untuk membujuknya dan
membawa kembali. Perintah Yahwe dilakukan oleh Hosea. Ia memaafkan Gomer dan
membangun kembali ikatan perkawinan yang telah hancur.[16]
2.4.2 Kesetiaan Kristus
Kepada Gereja-Nya
Lambang cinta kasih
Allah kepada umat-Nya diteruskan dalam relasi Yesus dengan Gereja-Nya. Yesus
sebagai mempelai pria dan Gereja-Nya sebagai mempelai wanita. Relasi kasih
setia antara Yesus dengan Gereja-Nya direfleksikan dengan sangat mendalam oleh
St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:22-32. Relasi Kristus
dengan Gereja-Nya merupakan dasar bagi relasi suami-istri dalam hidup
perkawinannya. Selanjutnya, St. Paulus menjelaskan misteri perkawinan itu
sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya.
Relasi kasih setia suami-istri harus
selalu mengacu pada gambaran kasih setia Kristus kepada Gereja-Nya. Karena itu
ada dua pola yang selalu digunakan St. Paulus untuk menggambarkan pola relasi
tersebut. Pola pertama digunakan untuk menunjuk apa yang seharusnya dibuat oleh
seorang istri: “Sebagaimana jemaat …, demikian juga istri …”. Pola kedua
digunakan untuk menunjuk kepada tugas dan peranan seorang suami: “seperti
Kristus …, demikian pula suami …”.[17]
Relasi perkawinan seperti yang digambarkan
diatas sesungguhnya menerangkan kekayaan relasi pria dan wanita dalam
perkawinan sebasimbol relasi Kristus dengan Gereja-Nya. Kristus sangat
mengasihi Gereja-Nya. Gereja sebagai umat Allah, termasuk didalamnya suami
istri sebagai bagian dari umat Allah. Relasi cinta kasih antara suami-istri
dilihat sebagai relasi cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya, yang tidak lain
adalah suami-istri itu sendiri.[18]
2.5 Masalah-masalah
dalam Hidup Berkeluarga
2.5.1 Perselingkuhan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, selingkuh artinya
berlaku curang, tidak jujur, dan tidak terang-terangan kepada orang lain[19].
Dalam konteks hidup berkeluarga, selingkuh berarti suami atau istri berlaku
tidak jujur dan tidak terang-terangan mengungkapkan pengalaman dirinya kepada
pasangannya. Dengan kata lain, suami atau istri sudah mengadakan hubungan gelap
dengan perempuan atau laki-laki yang lain tanpa diketahui oleh pasangannya.
Ikatan sebagai suami istri secara hukum adalah sah sebab memenuhi syarat-syarat
perkawinan dan diakui resmi oleh Gereja dan masyarakat. Namun dalam perjalanan
waktu, salah satu atau keduanya mengadakan relasi menetap baru dengan orang
lain. Misalnya, istri tidak mengetahui bahwa suaminya sudah berselingkuh dengan
wanita lain. Sikap demikian tentu saja menggangu kebersamaan dalam membangun
kesejahteraan keluarga.
2.5.2 Perceraian
Setiap pasangan suami-istri tidak
ingin agar hidup perkawinannya berantakan. Yang diinginkan adalah membangun
hidup berumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan. Namun dalam kenyataannya
yang terjadi saat ini, banyak pasangan suami-istri tidak dapat mewujudkan
kebahagiaan itu. Kemudian, memilih jalan lain dengan cara mengakhiri perkawinan
mereka, yaitu perceraian. Termasuk di dalamnya ialah keluarga-keluarga katolik.
Kenyataanya ini bisa ditemukan di dalam Katekismus Gereja Katolik yang
tertulis:
Dalam banyak negara, dewasa ini terdapat banyak
orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan
perkawinan baru secara sipil.[20]
Perceraian tidak
terjadi dengan sendirinya. Tentu ada sesuatu yang menjadi penyebab dibalik
peristiwa perceraian itu. Penyebab perceraian terdiri dari banyak segi.
Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota
keluarga. Jika konflik ini sampai pada titik dimana sikap ego lebih
dimunculkan, maka peristiwa perceraian itu sudah berada di depan mata.
Penyebab lain terjadinya perceraian
adalah berkaitan dengan dinamika kehidupan modern. Makin banyaknya tuntunan
hidup dalam dunia dewasa ini menyebabkan suami-istri itu hidup terpisah. Karena
tuntunan tugas salah satu dari pasangan, entah itu suami atau istri. Maka
masing-masing dapat merasa kesepian dan seperti tidak diperhatikan oleh
pasangannya. Dalam keadaan seperti itu bisa saja istri atau suami tergoda untuk
memutuskan sesuatu sebagai jalan pintas, demi kebutuhan jasmaninya.[21]
2.6 Model Keluarga
Kristiani
2.6.1 Keluarga sebagai
Komunitas Cinta Kasih
Keluarga dilihat sebagai komunitas cinta kasih sebab
kasih menjadi dasar dan pegangan bagi para anggota untuk membangun hidup
bersama. Keluarga kristiani tak sama dengan komunitas yang para anggotanya
hidup bersama dibawah satu atap, tetapi tidak saling mengenai dan tidak
membangun relasi apapun satu dengan yang lain. Mereka sungguh-sungguh orang
asing bagi yang lain. Di dalam keluarga kristiani, cinta menjadi dasar dank
arena itu ada keterbukaan dalam berkomunikasi, ada kedamaian, da nada sukacita
di hati. Cinta itu berasal dari Allah yang mendorong mereka untuk saling
mencintai dalam bentuk penyerahan diri secara total. Mereka menghidupi komitmen
bersama untuk saling memberikan diri secara sempurna dan saling menaruh
kepedulian dalam hidup sehari-hari[22].
Suami dan istri sama-sama sederajat sebab diciptakan
segambar dengan Allah. Mereka memiliki kesamaan derajat, sebab itu dapat
mmenjadi partner dan teman dalam membangun hidup bersama seperti yang
dicita-citakan. Sebagai komunitas cinta kasih, perhatian tidak hanya berpusat
pada kebahagiaan mereka berdua (suami-istri) tetapi juga pada anak-anak yang
lahir dari keduanya. Perhatian ini penting sebab bukan saja demi masa depan
anak, melainkan justru kehadiran anak besar sekali artinya bagi kesejahteraan
orang tua itu sendiri[23].
Ia menyimpulkan bahwa keluarga kristiani akan bertahan bila pertama, cinta yang tumbuh di hati
mereka berasal dari cinta Tuhan. Kedua,
cinta itu mesti bersifat total. Sebab itu mereka mesti menyerahkan diri secara
total satu kepada yang lain. Ketiga,
cinta demikian menuntut kesetiaan. Di dalam kesetiaan, orang saling
mengingatkan untuk tidak menghancurkan cinta dan persekutuan yang telah
dibangun bersama.
2.6.2 Keluarga sebagai
Komunitas Hidup
Keluarga dilihat sebagai komunitas hidup, sebab di
dalam hidup bersama, para anggota membentuk persekutuan hidup yang dibangun
atas dasar kasih yang mesra[24].
Mereka saling menghidupkan, saling menumbuhkan semangat, dan saling meneguhkan
bila ada persoalan. Apa yang dialami salah satu anggota dirasakan sebagai persoalan
bersama. Disitu ada kesempatan untuk berdialog dan mencari penyelesaiannya.
Bila anak dewasa, orang tua melibatkannya dalam percakapan menyangkut keluarga
agar anak turut merasakan perjuangan orang tuanya, sekaligus sebagai persiapan
diri ke masa depan sedapat mungkin dihindari kata dan sikap yang bisa melukai
hati anggota lain. Rumah dijadikan sebagai tempat berkumpul dan bersekutu. Ada
keluarga yang berantakan karena rumah hanya dijadikan sebagai hotel atau
persinggahan belak
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dewasa ini pemahaman banyak
orang mengenai makna nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga
keliru. Hal ini disebabkan antara lain karena kurangnya pendidikan yang
integral dan sehat di bidang seksualitas dan perkawinan dari generasi ke
generasi. Perkawinan adalah sebuah perjanjian timbal-balik antara seorang pria
dan wanita. Perjanjian ini sangat unik dan khas bila ditinjau dari sudut subjek
dan objeknya. Pertama-tama perjanjian ini digerakkan oleh cinta. Karena cinta
dan demi cinta Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Namun,
kehendak dan karya Allah tidak selesai di situ. Ia sekaligus memanggil mereka
untuk saling mencintai.
3.2 Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sarana dan
bantuan bagi mereka yang berkecimpung dalam tugas penggembalaan umat, yakni
pastor paroki, pemuka jemaat, katekis dan para orangtua, terutama dalam
memberikan katekese di bidang perkawinan, baik sebagai katekese umum maupun
sebagai katekese khusus untuk mendampingi mereka yang sedang bersiap-siap
menikah.
DAFTAR PUSTAKA
·
Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik menurut Kitab Hukum
Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 18.
·
Ibid.,
hlm.18
·
Dominikus Gusti Bagus
Kusumawanta,Pr, Analisis Bonum Coniugum
Dalam Perkawinan Kanonik, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007),
hlm. 7.
·
L. Prasetya, Pr, Allah Memberkati Hidup Berkeluarga,
(Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 16-22.
·
Aloysius Lerebulan,
MSC, Keluarga Kristiani Antara Idealisme
dan Tantangan, (Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 41-42.
·
Tjatur Raharso, Paham Perkawinan Dala Hukum Gereja Katolik,
(Malang: Dioma, 2014), hlm. 80-92.
·
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), hlm.46.
·
St. Darmawaijaya, Kesetiaan Suatu Tantangan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), hlm.46.
·
Ibid.,
hlm. 47.
·
Bernard Kieser, Paguyuban Manusia Dengan Dasar Firman,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50.
·
Ibid.,
hlm. 54.
·
Drs. Gilarso, Membangun Keluarga Kristiani,
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 56.
·
Dianne Bergant, CSA dan
Robert J. Karris, OFM (edit.), Tafsir
Alkitab Perjanjian Lama, diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 599.
·
Ibid.,
hlm.600.
·
Maurice Eminyan, Sj, Teologi Keluarga, (Yogyakarta: Kanisius,
2001). hlm. 69.
·
Dianne Bergant, CSA dan
Robert J. Karris, OFM (edit.), Tafsir
Alkitab Perjanjian Lama, Op.Cit., hlm. 349.
·
Robert Mirsel, SVD, Pasanganku Seorang Katolik: Sebuah Inspirasi
Bagi Pasangan Kawin Campur Katolik-Non Katolik, (Maumere: LPBAJ, 2001),
hlm. 100.
·
Y.Istiono Wahyu –
Ostaria Silaban, Kamus Pintar Bahasa
Indonesia, Karisma, 2006.
·
KGK.,
No. 1650.
·
Tonci R. Salawaney, Apakan Rumah Tangga Anda Bahagia?,
(Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1998), hlm. 73.
·
Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, hlm.23.
·
Gaudium et Spes, No.
50.
·
Maurice Eminyan,
Teologi Keluarga, hlm. 85. Bdk. Gaudium et Spes, no.48.
KATEKESE
MENGENAI
PENTINGNYA
NILAI KESETIAAN DALAM HIDUP BERKELUARGA
Tempat :
Gereja Katolik St. Yosef Lawe Desky
Waktu : 19.00 s/d 22.00 WIB
Peserta : Orangtua
Metode : Ceramah
Sarana : Laptop, LCD, Kitab
Suci
Sumber bahan : Mat 19:1-9
1. Pemikiran Dasar
Setiap pasangan suami-istri tentu saja mempunyai
impian agar membentuk keluarga yang damai dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada
kenyataannya, masih ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam hidup
berkeluarga. Hidup sebagai pasangan suami istri mencerminkan ikatan persatuan
sebagai jemaat kristiani. Persatuan ini memiliki tantangan yang harus dibangun
agar tidak mudah dipisahkan. Persatuan ini secara bertahap dapat dibangun dalam
bentuk kesetiaan antara suami dan istri. Kesetiaan menjadi factor penting dalam
usaha membangun keluarga. Kesetiaan ini juga dapat mendorong kepada sikap yang
lain dalam usaha membangun kehidupan yang bahagia.
Pada zaman modern ini, kesetiaan sebagai suami dan
istri mendapat pengaruh yang besar dari adanya dinamika kehidupan modern
seperti gaya trend zaman sekarang. Akibatnya nilai kesetiaan itu menjadi hal
sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan yang membuat seorang pribadi memegang
teguh kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam
harapan-harapannya yang sah. Akibat dari pengaruh modernsasi inilah yang
menyebabkan perlunya suatu pembinaan bagi pasangan suami istri. Hal ini
bertujuan agar mereka dapat memaknai kesetiaan yang dapat membangun kehidupan
keluarga yang bahagia.
2. Tujuan
·
Agar peserta mampu
memahami tentang kesetiaan sebagai suami dan istri
·
Agar peserta mampu
memahami Dasar biblis tentang berdasarkan perikope injil Mat. 19:1-9
3. Langkah-langkah
·
Sapaan
Fasilitator
Selamat Malam Bapak/Ibu sekalian? Bagaimana kabarnya
hari ini? Semoga Tuhan selalu memberkati kita dan memberikan kesehatan serta
kedamaian dalam hati kita masing-masing. Kita harus mengucapkan syukur kepada
Tuhan karena Tuhan mengumpulkan kita di tempat ini dalam sukacita. Di malam
hari ini, kita akan mendengarkan cerita pengalaman hidup mengenai kesetiaan
dalam hidup berkeluarga. Apakah selama ini kita setia kepada pasangan kita
dalam kehidupan sehari-hari atau kurang setia atau tidak sama sekali setia?.
Nah….saat ini tema yang akan kita bahas dalam katekese kita pada malam hari ini
ialah “Pentingnya Kesetiaan dalam Hidup Berkeluarga”. Maka untuk mengawali
pertemuan ini, marilah kita bernyanyi dan berdoa bersama.
·
Lagu
Pembuka
Cinta kasih Allah
PS- 659
Ulangan:
Cinta kasih
Allah di curahkan dalam hati umat-Nya
Oleh Roh Ilahi,
sumber kekuatan yang dikurniakan pada kita
Ayat:
Walau kaya raya
ddan kuasa: walau cantik indah memesona
Walau pandai dan
gagah perkasa percumalah tanpa cintakasih
Cinta kasih itu
murah hati, cinta kasih sabar dan takwakal
Cinta kasih
tidak memegahkan diri,tak mencuri keuntungan diri
Cinta kasih
menutup segala, cinta kasih slalu percaya
Cinta kasih tak
menharapkan segala mennggung kurban dengan gembira
Puji tuhan
segala bangsa, tuhan karena cinta yang mengutus rohnya bagi kita, agar kia satu
dalam bapa.
·
Doa
pembuka
Mari
kita bersatu dalam doa (Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, Amin)
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada-Mu
Tuhan dimana kasih setia-Mu yang selalu menyertai kami dan memberikan selalu
nafas kehidupan sehingga kami dapat berkumpul ditempat ini dalam sukacita. Ya
Tuhan, sebelum kami meminta berkat kepada-Mu, ampunilah segala dosa-dosa kami
agar kami dapat menerima berkat yang dari pada-Mu. Ya Tuhan kami memohon
kepada-Mu kiranya Tuhan memberkati seluruh rangkaian katekese kami pada hari
ini agar kami sungguh-sungguh memahami manfaat dan tujuan katekese ini diadakan
bagi kehidupan kami sehari-hari terutama dalam kehidupan keluarga kami. Berkatilah
juga keluarga kami Tuhan agar kami dapat setia pada pasangan kami masing-masing
dalam keadaan suka maupun duka.Trimakasih ya Tuhan, kami serahkan seluruh
kegiatan kami pada malam hari dan kehidupan kami. Demi Kristus dan Tuhan kami. Amin.
·
Cerita
Pengalaman
Fasilitator mengajak
peserta untuk mendengarkan serta memahami sebuah cerita yang merupakan salah
satu pengalaman hidup berkeluarga yang pernah dialami oleh suami-istri.
“Martin seorang Suami
yang Setia”
Martin adalah seorang suami yang
setia. Ia merawat istrinya Sarah setiap harinya dalam keadaan sakit parah. Hal
ini berlangsung selama 6 tahun sejak sang istri terkena penyakit stroke yang
menyebabkan sang istri lumpuh. Martin yang berusia 50 tahun seorang supir
angkot Metro Mini di kawasan Tj.Priok-Jakarta Utara. Beliau menikah pada tahun 1988
dan telah dikarunia 2 orang anak laki-laki. Keluarga ini merupakan keluarga
yang harmonis dan bahagia. Namun, kebahagiaan itu telah berkurang setelah sang
istri terkena penyakit stroke pada tahun 2010 yang lalu. Sejak pada saat itu, sang
istri tidak mampu lagi mengurus pekerjaan rumah. Ia tak mampu berjalan dan
berbicara. Sejak saat itu juga, Martin sang suami yang mengurus pekerjaan
rumah, istri serta sebagai tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah.
Demikian beliau lakukan sebagai bukti kesetiaan sebagai seorang suami kepada
sang istri tercinta.
Martin selalu bangun setiap jam. 05:00 Pagi. Ia
membersihkan rumah, memasak dan menyediakan sarapan untuk istri. Kemudian,
beliau pergi untuk bekerja sebagai supir angkot. Siang harinya, beliau pulang
untuk memasak
dan memberi
makan istrinya lalu ia kembali bekerja. Sore harinya, Ia pulang untuk
mengerjakan pekerjaan rumah dan memandikan sang istri serta memberikan obat
untuk sang istri setelah sang istri sudah makan. Kadangkala, Martin susah untuk
tidur demi memperhatikan keadaan sang istri yang sedang kesakitan di tengah
malam. Hal ini dilakukan sang suami setiap harinya kepada sang istri tercinta.
Bukti kesetiaan Martin yang sudah ia lakukan selama 6 tahun dan ia masih
sanggup mengurus rumah tangga, istri dan menjadi tulang punggung keluarga. Pada
tahun 2016, Martin kehilangan sang istri selama-lamanya, yang sudah ia
perjuangkan selama 6 tahun. Kini Martin hidup sendiri dan kadang-kadang
anak-anaknya serta cucu-cucunya menjenguk ia untuk melihat keadaan Martin.
(Sumber: Pengalaman diangkat dari keluarga paman
saya sejak tahun 2016 yang lalu)
Fasilitator memberi
pertanyaan pendalaman dari cerita diatas.
Pertanyaan:
1. Apakah
pesan yang mau kita ambil dari cerita pengalaman diatas?
2. Apakah
Bapak/Ibu pernah mengalami keadaan duka di dalam kehidupan berkeluarga?
3. Apakah
Bapak/Ibu setia dalam keadaan duka di dalam kehidupan berkeluarga?
4. Apakah
Bapak/Ibu pernah untuk mencari jalan pintas dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan dalam kehidupan berkeluarga dengan bercerai?
Langkah Pertama:
Menggali Pengalaman
Pengantar
Setelah kita mendengar cerita
pengalaman diatas, sekarang kita melihat kebelakang tentang pengalaman
kehidupan berkeluarga kita sebagai suami-istri. Apakah dalam kehidupan
berkeluarga kita sudah saling setia?. Untuk mereview kembali pengalaman
kehidupan berkeluarga kita, marilah kita mencoba menjawab pertanyaan dengan
caranya: setiap suami-istri yang ingin mencoba menjawab pertanyaan, saya mohon
bapak dan ibu sekaligus menceritakan pengalaman yang pernah bapak/ibu alami selama
kehidupan berkeluarga.
Pengungkapan Pengalaman
Fasilitator
memberi sebuah pertanyaan agar peserta mau mensharingkan pengalamannya tentang
kesetiaan dalam kehidupan berkeluarga.
1. Saat
pertama kali bapak dan ibu telah dipersatukan melalui sakramen perkawinan, apa
yang bapak dan ibu rasakan pada saat itu? Mengapa?
2. Apakah
pada saat bapak dan ibu telah mengikat janji untuk setia dalam hidup
perkawinan, bapak dan ibu sungguh-sungguh siap menerima apapun yang akan
terjadi kedepannya?
3. Apakah
bapak dan ibu pernah mengalami konflik yang sangat hebat yang membuat bapak dan
ibu hampir mau berpisah?
4. Apa
yang membuat bapak dan ibu tetap setia dalam kehidupan berkeluarga?
Ceritakanlah pengalaman bapak dan ibu.
Pemaknaan
Setiap pasangan yang sudah mengikat
janji perkawinan dan hidup berkeluarga, kesetiaan terhadap pasangannya
masing-masing merupakan hal yang sangat terpenting. Kesetiaan mengngkapkan
bahwa kita mau hidup dan mati, senang atau sedih, suka atau duka dengan
pasangan kita. Kita mau menerima kekurangan atau kelebihan dari pasangan kita.
Dalam menjalani hidup berkeluarga harus dilandasi oleh cinta yang tulus agar
kita dapat merasakan cinta yang benar-benar itu cinta dari hati pasangan kita
masing-masing. Melalui sakramen perkawinan, kita harus memberikan cinta yang
tulus lewat janji perkawinan untuk setia dalam suka maupun duka kehidupan
berkeluarga. Perkawinan katolik tidak dapat terceraikan kecuali diceraikan oleh
kematian. Marilah kita bapak dan ibu yang sudah menjalin cinta dalam hidup
berkeluarga untuk tetap hidup rukun dalam keluarga dan sama-sama bergandengan
tangan untuk menghadapi rintangan dalam kehidupan berkeluarga demi tercapainya
kebahagiaan.
Langkah Kedua: Merefleksikan
Pengalaman
Pengantar
Setelah kita bersama-sama
mensharingkan dan mendengarkan pengalaman hidup kita, marilah kita bersama-sama
memaknai dan menggali lebih dalam lagi mengenai pengalaman tersebut.
Pendalaman pengalaman
1. Bagaimana
sikap bapak dan ibu yang terutama sebagai pasangan suami-istri?
2. Pernahkah
bapak dan ibu mengutamakan nilai kesetiaan dalam hidup berkeluarga saat
mengalami kehidupan yang buruk atau saat menerima pengalaman pahit?
3. Mengapa
bapak dan ibu tetap setia terhadap pasangannya masing-masing?
Pemaknaan
Pengalaman bahagia dan sedih
tentunya pernah kita alami dalam hidup sebagai keluarga kristiani. Terkadang
kita lebih banyak mengharapkan kebahagiaan daripada kesedihan dalam keluarga.
Namun di dalam kehidupan ini, kita tidak hanya selalu dalam keadaan bahagia
pasti juga pernah mengalami keadaan sedih. Meskipun begitu, kebahagiaan dan
kesedihan merupakan proses kehidupan yang kita jalani dalam kehidupan
berkeluarga terutama sebagai murid Yesus. Dalam pengalaman yang demikian,
kesetiaan terhadap pasangan harus menjadi dasar yang penting. Dengan melalui ini,
kita diajak untuk membina hidup berkeluarga untuk tetap harmonis dan menjadi
keluarga kristiani yang kudus.
Langkah Ketiga:
Renungan Sabda / Dasar Biblis
Pengantar
Bapak dan ibu yang terkasih, setelah
kita bersama-sama mensharingkan dan mendengarkan pengalaman hidup kita. Maka,
pada kesempatan ini kita akan mendengarkan dan merenungkan Sabda Allah yang
diambil dari Injil Mat. 19:1-9.
Mat 19:1-9
“Perceraian”
Setelah
Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah ia dari Galilea dan tiba
di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. Orang banyak berbondong-bondong
mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana. Maka datanglah
orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah
diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus:
“Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak ssemula menjadikan
mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.
Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan
untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” Kata Yesus
kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan
isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan
perempuan lain, ia berbuat zinah.”
Penegasan dari
fasilitator
Hidup sebagai pasangan suami isteri
merupakan kehidupan yang indah. Hal ini dapat kita rasakan bilamana dalam hidup
sehari-hari, kita saling menaruh sikap setia terhadap pasangan kita. Kesetiaan
secara umum merupakan kebajikan yang membuat seseorang menjadi pribadi yang
memegang teguh kata-kata dan janji-Nya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam
harapan-harapannya yang sah, sebagai keluarga katolik. Kesetiaan merupakan hal
yang terpenting dalam membina hidup berkeluarga sebab kesetiaan sebagai
pasangan suami-isteri merupakan ikatan kesatuan yang utuh dan tidak
terceraikan. Seperti dalam injil dikatakan bahwa “Demikianlah mereka bukan lagi
dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh
diceraikan manusia.” Sabda Allah ini menjadi suatu pedoman bagi pasangan
suami-isteri agar selalu setia dengan pasangannya. Hal ini mengungkapkan bahwa
menjadi satu keluarga merupakan karya Allah. Allah telah mempersatukan atau
menjodohkan kita sehingga membentuk keluarga katolik. Maka, persatuan sebagai
pasangan suami-isteri juga merupakan persatuan antara kita dengan Allah.
Pertanyaan Pendalaman
1. Apakah
pengalaman bapak dan ibu dalam membina kesetiaan sebagai pasangan suami-isteri
sudah selaras dengan yang diajarkan dalam Firman Allah?
2. Pesan
apa yang dapat bapak dan ibu ambil tentang Firman Allah Injil Mat. 19:1-9?
Penegasan
Dalam membina hubungan keluarga,
tentunya akan menghadapi berbagai permasalahan hidup. Permasalahan ini harus
ditanggapi secara bijaksana agar tidak membuat persatuan hubungan sebagai
suami-isteri menjadi tercerai-berai.seperti yang telah difirmankan Allah bahwa
menjadi satu keluarga merupakan bentuk persatuan yang utuh dan tidak boleh
terceraikan. Semuanya itu harus dilandasi dengan kesetiaan antara suami dan
isteri.
Langkah Kelima: Doa
Umat
1.
Bagi Gereja Dan
Pemimpin Gereja
Ya Bapa yang maha baik terima kasih atas berkatmu
kepada kami hari ini yang tak ada henti-hentinya.Ya Bapa kami berdoa bagi
Gereja dan pemimpin kami agar mereka senantiasa melayanimu dengan penuh
semangat dan begitu juga dengan kami yang menjalani hidup berkeluarga, agar mau
dan aktif dalam membantu mereka melayani Gereja.
Kami mohon!
(kabulkanlah doa kami ya Tuhan)
2.
Bagi Mereka Sakit
Dan Menderita
Ya bapa, kami juga berdoa bagi mereka yang sakit
agar engkau kiranya mengambil penyakit mereka melalui obat yang mereka minum.
Begitu juga dengan kami yang menjalani hidup berkeluarga, agar peduli terhadap
mereka yang skit terutama yang ada di sekitar kami.
Kami mohon!
(kabulkanlah doa kami ya Tuhan)
3. Bagi
Pasangan Suami-Isteri
Ya bapa, kami juga berdoa bagi mereka yang telah kau
satukan dalam ikatan janji perkawinan. Semoga mereka tetap setia kepada
pasangan mereka masing-masing sehingga mereka dapat menjadi keluarga katolik
yang harmonis dan rukun.
Kami mohon!
(kabulkanlah doa kami ya Tuhan)
4.
Bagi
kita Yang Berkumpul Disini
Ya Tuhan, kami berdoa bagi kami di
sini. Agar kami OMK semakin sadar dan mau berpartisispasi dalam hidup
menggereja sehingga gerejamu semakin maju dan berkembang.
Kami mohon!
(kabulkanlah doa kami ya Tuhan)
Saudara-saudara
sekalian marilah kita satukan doa kita dengan doa yang di ajarkan tuhan kepada
kita … (BAPA KAMI)
4. Penutup
Kesimpulan
Kesetiaan merupakan kebajikan yang membuat seorang
pribadi memegang teguh kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang
lain dalam harapan-harapannya yang sah. Kesetiaan mencerminkan pribadi kita
masing-masing dalam membangun hubungan yang erat sebagai suami dan istri.
Sebenarnya kita telah menerima kesetiaan itu, yakni kesetiaan Allah untuk
perutusan Roh Kudus yang selalu menyertai kehidupan kita. Kesetiaan Allah
inilah yang menjadi pusat kesetiaan kita terhadap pasangan kita. Jika Allah
setia kepada kita, sudah selayaknya juga kita selalu setia terhadap pasangan
kita. Sebagai wujud nyata kesetiaan kita kepada Allah. Kita tidak perlu cemas
apakah kita akan berhasil atau tidak dalam membangun kesetiaan itu. Namun
ketekunan kita dalam memperjuangkan kesetiaan itu memiliki pengaruh besar dalam
pencapaian kita untuk hidup dalam keluarga yang penuh dengan kebahagiaan.
Doa Penutup
Ya Bapa, kembali kami mengucap
syukur kepada-Mu karena berkat selalu menyertai kami hingga pada saat ini.
Semoga kami Tuhan dapat memahami dan melaksanakan apa saja yang sudah
dijelaskan dan kami dengarkan. Kami belajar dari pengalaman orang lain dan kami
akan memperbaiki kesalahan-kesalahan atau perbuatan kami hingga membuat kami
berpikir untuk bercerai dalam keadaan/situasi yang kacau. Melalui pertemuan
ini, kami sadar bahwa kesetiaan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan
berkeluarga kami. Semoga kami dapat menerapkan kesetiaan itu dalam diri
pasangan kami masing-masing. Inilah doa seruan kami Ya Tuhan, karena kami
berdoa melalui perantaraan Yesus Kristus Juru S’lamat kami.
(Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus)
AMIN
[2] Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katol ik
menurut Kitab Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 18.
[3] Ibid., hlm.18.
[4] Dominikus Gusti Bagus
Kusumawanta,Pr, Analisis Bonum Coniugum
Dalam Perkawinan Kanonik, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007),
hlm. 7.
[5] L. Prasetya, Pr, Allah Memberkati Hidup Berkeluarga,
(Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 16-22.
[6] Aloysius Lerebulan,
MSC, Keluarga Kristiani Antara Idealisme
dan Tantangan, (Kanisius: Yogyakarta, 2016), hlm. 41-42.
[7] A. Tjatur Raharso, Paham Perkawinan Dala Hukum Gereja Katolik,
(Malang: Dioma, 2014), hlm. 80-92.
[8] Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
hlm.46.
[9] St. Darmawaijaya, Kesetiaan Suatu Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.46.
[10] Ibid.,
hlm. 47.
[11] Bernard Kieser, Paguyuban Manusia Dengan Dasar Firman,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50
[12] Ibid., hlm. 54.
[13] Drs. Gilarso, Membangun Keluarga Kristiani,
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 56.
[14] Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM
(edit.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 599.
[15] Ibid.,
hlm.600.
[16] Maurice Eminyan, Sj, Teologi Keluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 2001). hlm. 69.
[17] Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM
(edit.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,
Op.Cit., hlm. 349.
[18] Robert Mirsel, SVD, Pasanganku Seorang Katolik: Sebuah Inspirasi Bagi Pasangan Kawin Campur
Katolik-Non Katolik, (Maumere: LPBAJ, 2001), hlm. 100.
[19] Y.Istiono Wahyu –
Ostaria Silaban, Kamus Pintar Bahasa
Indonesia, Karisma, 2006.
[20] KGK.,
No. 1650.
[21] Tonci R. Salawaney, Apakan Rumah Tangga Anda Bahagia?, (Bandung: Lembaga Literatur
Babtis, 1998), hlm. 73.
[22] Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, hlm.23.
[23] Gaudium et Spes, No.
50.
[24] Maurice Eminyan,
Teologi Keluarga, hlm. 85. Bdk. Gaudium et Spes, no.48.